Selasa, 03 Desember 2019

Nadia anak yang manja


Derap langkah kakiku semakin cepat, seiring dengan kekhawatiranku padamu. Berita yang luput, menjadi rutukan untukku. Kemana saja diriku sampai hal yang penting seperti ini aku harus menjadi orang yang sekian kalinya mendengarnya. Aku tak begitu peduli jika saat ini masih jam pelajaran. Suasana yang harusnya tenang menjadi sedikit gaduh karena langkah sepatuku berlari menyusuri 2 lantai dan 8 ruang kelas yang sedang belajar. Aku hanya ingin segera sampai di kantor guru, memastikan berita yang baru saja kudapatkan.setelah ini, aku akan meminta maaf kepada guru yang sedang mengajar.

Aku janji. Ah, syukurlah. Aku sudah dapat melihat kantor guru yang tak jauh lagi depanku. Begitu sampai di depan pintu, aku segera berhenti dan sedikit meredakan detak jantungku yang berdentum cepat karena tiba-tiba kupaksakan untuk lari. Nalarku masih berjalan untuk berlaku sopan santun untuk menemui sosok-sosok orang tua di sekolah ini.“Assalamualaikum. Permisi, saya mencari Bu Herna” Aku mengetuk pintu ruang guru dan langsung menanyakan guru yang menjabat wakil kesiswaan tersebut kepada guru-guru yang ada di dalam ruangan. Mataku mengedar mencari Beliau, hasilnya nihil. Bu Herna tidak ada di ruangan.

Bu Herna sedang keluar tadi, nak. Ada urusan apa dengan Bu Herna? Kau meninggalkan pelajaranmu??” Seorang guru mendekatiku, mencoba menginterogasiku.“ Maaf Pak, saya sudah izin tadi dengan Bu Yuni, wali kelas saya. Saya ingin menanyakan sesuatu yang penting dengan Bu Herna,” jawabku kepada guru olahraga tersebut, Pak Arif namanya.Apa yang penting tersebut?” kembali Pak Arif menanyaiku dengan sedikit penekanan. Aku menggigit bibir bawahku, mencoba menahan rasa gugupku berhadapan dengan Pak Arif yang merupakan guru kedua yang masuk daftar ‘Guru yang lebih baik dihindari’ setelah Kepala Sekolahku sendiri.

Saya ingin menanyakan berita kepindahan teman saya, Pak.” Jawabku.“Siapa?” belum sempat ku menjawabnya lagi, sebuah tangan hangat merangkul bahu kiriku. Aku menoleh, dan ku dapati seseorang yang sedang kucari. Betapa leganya diriku.“Bu Herna” “Tiara, sudah lama disini?” tanya Bu Herna kepadaku.Sudah lama? Apa sebelumnya Bu Herna sudah tahu bahwa aku akan kemari. “Tidak Bu,” jawabku.“Bu Herna, saya ingin menanyakan tentang…”Ayo kita bicarakan di ruang sebelah!” dengan cepat Bu Herna memotong perkataanku. Beliau bergerak pergi ke ruangan di sebelah yaitu ruangan BP.

Aku segera mengikutinya. Sempat kulihat Pak Arif yang memerhatikan diriku, aku hanya bisa menunduk tak berani bertatap muka dengan beliau.Aku perlahan duduk mengikuti Bu Herna yang telah duduk di kursi panjang di ruangan ini. Aku duduk berhadapan dengan beliau. Bu Herna membuka tasnya dan mengeluarkan beberapa kertas juga amplop kecil. Bukan amplop putih panjang yang sering digunakan oleh sekolah namun amplop ini kecil bewarna biru.“Ibu tahu kedatanganmu kemari ingin menanyakan tentang Nadia,” ucap Bu Herna kepadaku. Beliau memberikan senyum padaku.

“Iya Bu. Ini tentang Nadia. Bisakah Ibu memberi tahu saya bahwa Nadia tidak masuk dua hari ini bukan karena ingin pindah sekolah???” tanyaku langsung tanpa berbasa-basi lagi.“Nadia tidak masuk dua hari lalu karena memang sedang ada urusan keluarga. Dan maafkan Ibu, Tiara. Ibu tidak bisa mengatakan hal yang ingin Tiara dengar. Berita yang Tiara dengar adalah benar. Nadia pindah sekolah, dari hari ini.” Bu Herna mengatakan semua itu dengan hati-hati.Aku terkejut. Meskipun aku sudah punya firasat bahwa hal ini akan terjadi, tetap saja bagiku ini susah untuk kuterima.

Nadia benar-benar pindah, tanpa memberitahuku lebih dahulu. Aku benar-benar kecewa. Mataku mulai memanas, rinai air mata telah mengumpul di sudut mataku. “Kenapa Ibu tidak memberitahuku sebelumnya Bu? Ibu tahu kalau aku bersahabat baik dengan Nadia,” tanyaku.“Ibu sudah berjanji pada Nadia, Ti. Ibu juga terkejut mendengar Nadia mengungkapkan akan pindah sekolah ke luar negeri. Ibu langsung teringat padamu. Namun saat itu, Nadia menghampiri Ibu dengan berurai airmata dan bilang bahwa dia tidak bisa pergi meninggalkanmu. Apa daya bahwa kepindahannya adalah keputusan dari keluarganya.”“Tapi bagaimana bisa Nadia pergi tanpa pamitan padaku Bu??”

Airmataku turun membasahi pipiku ketika ku selesai membaca surat Nadia. Hatiku benar-benar sedih kehilangan sosok sahabatku itu. Aku terisak. Kupeluk erat surat itu. Tanpa kusadari Bu Herna telah ada disampingku yang kemudian memelukku erat. Beliau mengelus-elus punggungku mencoba menenangkanku. Namun tangisku makin menjadi. Hanya tangis tanpa kata apapun. Karena tidak ada kata yang mampu kuucapkan lagi. Bagiku sudah cukup aku menahan Nadia. Aku harus biarkan sahabatku pergi membentuk sayapnya sendiri untuk dapat terbang meraih mimpi-mimpinya.
Bu Herna semakin erat memelukku, memberiku titik-titik semangat untuk bangkit dan ikhlas menerima semua ini. Dan entah berapa lama aku menangis di pelukan guruku itu.

Hujan di luar seakan tahu apa yang kurasakan saat ini. Tidak, bukan karena hujan. Tapi karena Allah yang selalu tahu apa yang sebenarnya Hamba-Nya rasakan. “Aku memang tak bisa menyembunyikannya,” lirihku perlahan. Ku mantapkan hatiku. Menutup mataku sebentar, diiringi bunyi tetesan hujan yang menjadi melodi tersendiri yang bisa menguatkanku. Sekarang aku disini sendirian. Tanpa dirimu. Segala bantuanmu, segala dorongan semangatmu, dan senyum ceriamu yang menghiasi hariku sehingga begitu bewarna. Kau sahabatku, yang sekarang sudah jauh disana yang entah kapan kita bisa dapat berjumpa kembali.

Kau yang selalu membuatku kuat menghadapi segala lika-liku perjalanan hidup kita. Kata-kata semangatmu yang begitu merasuk di dalam lubuk hatiku, yang akan terus kusimpan sampai kapanpun. Sebagai semangatku, menggantikan dirimu.Aku tak tahu, bisakah aku mengikuti laju perputaran waktu yang semakin cepat, tak mungkin bisa berhenti apalagi kembali ke belakang. Berharap aku bukan menjadi bagian yang di belakang, yang tertinggal. Namun jika itu terjadi, maukah kau menarikku untuk terus maju dan tak pernah berhenti seperti apa yang selalu kau katakan kepadaku. Tak ada yang bisa menghentikan langkah kita untuk terus bergerak maju selain diri kita sendiri dan Allah, Pemegang Segala Nyawa di dunia yang fana ini.

Kulepaskan dirimu seperti keinginanmu. Kau yang mencari cahayamu sendiri, di dalam bagian dunia yang mungkin aku pun tidak sanggup memasukinya. Tetapi aku yakin, kau bisa. Aku percaya kemampuanmu, segala kekuatanmu yang selalu kulihat selama aku disampingmu dahulu. Kau yang tak gentar menghadapi terjangan ombak yang kecil maupun yang besar sekalipun. Kau bagai batu karang yang kokoh dan tak tergoyahkan. Kau yang akan selalu jadi inspirasiku. Kau yang akan selalu menjadi sahabatku. Sahabatku yang berharga yang tak akan kulupakan seumur hidupku.

Nadia, aku juga akan berjanji pada diriku sendiri. Meskipun aku jatuh berkali-kali, aku akan tetap bangkit. Aku akan mengejar mimpiku. Dan ketika kita masing-masing telah sama-sama meraihnya, akan ada masa kita dapat bertemu kembali. Tersenyum bangga dan bahagia. Ku hapus semua airmataku. Tetaplah sehat disana sahabatku. Satu hal yang harus kau ketahui bahwa aku mendukungmu dalam keadaan apapun. Karena kau adalah sahabat terbaikku. Aku menyayangimu, Nadia… . 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar