Selasa, 03 Desember 2019

DISTORSI CINTA DIBALIK SENJA


Langit senja masih mengukirkan sejuta kenangan yang telah meraup sebagian dari umurku. Kini tinggal sisa dari yang ada yang masih bisa kuselami untuk menunggumu disini. Namun kau tak kunjung datang. Pada setapak batu ini kulukiskan namamu dengan cat merah bata sembari menunggumu dalam kutipan kursi panjang itu. Aku tak dapat menjauh dari kursi itu, aku hanya mampu meraih batu besar yang tepat berada didepanku. Aku selalu berharap akan kedatanganmu.
Lukisan merah bata di arah bergulirnya sang mentari itu sedikit demi sedikit mulai terkikis, hari pun berangsur angsur meratap kearahku dengan kegelapan, pertanda malam akan segera dimulai. Hanya aku dan lukisan merah bata pada batu besar itu yang tersisa.

Aku tak kuasa menahannya, kukira penantian ini akan membuahkan hasil, namun kedatanganmu tidaklah pasti. Entah kapan aku akan beranjak dari tempat ini, bahkan aku tak membawa sesuatu pun yang dapat membantuku keluar dari kegelapan ini. Hanya sinar rembulan yang menyejukkanku, dan bintang-bintang yang membawa keramaian malamku. Waktu terus berjalan, hingga tak kusadari jarum jam pada jam tanganku telah menunjukkan pukul 9 malam. Akhirnya dengan berat hati kuputuskan untuk meninggalkan tempat itu.  Tempat dimana cinta datang untuk memasuki pada suatu ruang, yang tiap orang tak dapat memasukinya, karena hanya orang-orang tertentu yang dapat menjadi bagian dari apa yang spesial dalam diri kita, yaitu hati.

Tempat dimana perasaan kita saling beradu dan menjadi satu membentuk sebuah cinta.
Setapak demi setapak kususuri jalan sempit itu, menuju pada gang sempit yang mengarah pada sebuah rumah megah yang berada pada ujung jalan itu. Tepatnya di gang muayyad nomor 24, kota Surabaya. Segera kulangkahkan kakiku memasuki rumah itu, kubuka pintu kamarku yang penuh dengan tempelan stiker yang bertuliskan kata kata cinta dan motivasi itu. Aku merasa lemas tak berdaya, hingga kubaringkan tubuh ini pada kasur empuk yang telah manyapa kedatanganku.
Cinta dimanakah akan kutemukan sosok dirimu? Kucari-cari semua tentang bayangmu, kubuka tirai putih yang ada didepanku, berharap kau berada disana, hembusan angin itu terus mambawaku pada sebuah langkah yang mengarahkanku pada suatu tempat yang keindahannya tak pernah kudapati sebelumya.

Setiap langkahku hanya tertuju padamu, hingga akhirnya kutemukan suatu lembah yang begitu subur. Terdapat ratusan tanaman yang berbeda-beda dan tak aku kenali. Dari ratusan tanaman itu hanya satu bunga yang aku tahu namanya. Yaitu mawar hitam. Kulihat disana terdapat suatu aliran sungai yang begitu jernih, warnanya biru menggoda, nampaknya aliran tersebut tak pernah dihinggapi oleh seorang pun. Terlihat di seberang sungai itu suatu bayangan yang yang secara pelan menghampiriku. Ku amati secara pasti. Nampaknya aku telah mengenal sosok itu. Kulihat dengan pasti, kuusapkan tanganku pada kelopak mataku, memastikan apa yang aku lihat. Ternyata benar itu Raffi. Lelaki yang selama ini selalu aku tunggu kedatangannya. Dan akhirnya kini Tuhan telah menunjukkanku padanya.

 Tak lama dari semua itu, suara berisik tiba-tiba mengguncangkan telingaku, entah dari mana asalnya. Suara itu terdengar seperti dari dunia luar yang secara spontan menggetarkan telingaku, memaksaku untuk bangun dan kembali membuka mataku, kulihat ternyata sumber kebisingan itu dari alarm ponsel yang kutempatkan tidak jauh dari tempat berbaringku. Segera aku duduk, sembari memeluk bantal merah muda bermotifkan bunga yang telah menemani tidurku. Namun air mataku telah jatuh tanpa aku memintanya, membuatku semakin memeluk erat bantal itu, namun pelukan itu semakin mengingatkanku bahwa Raffi telah tiada. Semua itu hanya mimpi dan hanya mimpi yang mencoba mengusik kehidupanku. Membuatku berfikir keras, kenapa aku tidak larut dalam mimpi itu, meraih tangan Raffi dan menyeberangi sungai yang membentang itu. Sungai yang memisahkan keberadaanku dengan keberadaanya. Namun Tuhan berkehendak lain. Tuhan selalu membawaku pada dunia, dunia yang harusnya aku jalani layaknya mereka yang ada di luar sana.

“Tari...kemari sayang!”, teriakan mama yang mungkin saja mengajakku untuk sarapan. Namun dugaanku salah. Kuhampiri mama yang ternyata tengah berada di ruang tamu bersama seorang lelaki muda berkemeja biru yang tak aku kenali. Namun tetap kulangkahkan kakiku menuju hadapan mama tanpa rasa malu, “ada apa ma?” tanyaku padanya dengan wajah kusam dan pakaian tidur yang lusuh. “kenalin sayang, ini Hamdan. Dia lulusan psikologi, mama harap kamu bisa belajar padanya, dia juga pandai dalam pengatasan masalah seperti yang sekarang kamu alami loh..., mama ingin kamu bisa ceria kaya dulu lagi” ucap mama meyakinkanku.Aku hanya mengangguk, mencoba menuruti perkataan mama, seolah aku telah yakin pada mama meskipun hatiku berkata sebaliknya.

Hanya terbersit satu pemikiran positif yang mungkin saja membenarkan perkataan mama dibenakku yang menekanku untuk mengatakan “iya”. Yang pada akhirnya keterpaksaanku itu telah membukakanku pada jalan baru, di mana pada jalan itu telah mendekatkanku pada Hamdan, dan  lambat laun kami bereman, layaknya teman akrab.Hari telah menjelang sore, mentari telah menyingsing pada bagian barat.  Aku hanya bisa tersenyum, di balik selambu yang menutupi cendela kamarku, hanya sedikit celah yang terbuka dengan bantuan tanganku. Kusaksikan senja itu.  Melepas duka yang telah lalu. Tepat dimana setahun yang lalu, pada sebuah kecelakaan pesawat yang telah membawa Raffi pada alam yang berbeda, memisahkan rasa cinta yang seharusnya kini menjadi memori yang masih berjalan, layaknya suami istri. Ku coba untuk tetap tersenyum meski hatiku menangis.

Kurasakan tepukan tangan pada bahuku yang sempat membuatku tersenyum. Berlahan kutengokkan kepalaku pada arah dimana tepukan itu datang. Kukira Raffi yang telah hadir kembali untukku. Tetapi pradugaku salah, mana mungkin orang yang tlah tiada dapat memunculkan kembali wajahnya di depanku. Ternyata mama yang datang menghampiriku, berusaha untuk menghiburku, dia bawakan secangkir susu rasa coklat kesukaanku yang masih erat pada jemarinya yang mulai berkeriput itu. “eh mama..” Sapa hangatku dengan mengusap air mata yang hendak menetes itu secara perlahan.  “Ini sayang, mama bawakan susu hangat untukmu. Ayok duduk dulu!” ajak mama yang sedikit menenangkan. Kuberjalan mengikuti mama dan duduk berhadapan dengannya. Kita perbincangkan berbagai macam sesuatu secara hangat. Dengan senyuman kujalani semua itu, karena aku yakin dapat melupakan semua rasa kelam yang masih mendesak ini.

Hari telah kembali menampakkan cerahnya. Pagi ini aku mendapat janji dengan Hamdan. Ia hendak mengantarkanku berangkat ke kampus. Sebenarnya aku tidak telalu setuju dengan janji itu, meski aku telah berteman dengannya. Namun, aku hanya berusaha menghormati mama dengan menuruti permintaannya. Tepat jam 8 Hamdan tiba di rumahku. Ia telah berpenampilan rapi layaknya pegawai kantoran. Yah memang benar adanya. Ia bekerja di salah satu perusahaan yang aku sendiri juga lupa apa nama perusahaan itu. Walaupun sedikit melenceng dengan jurusan yang ia ambil saat kuliah tapi ia tetap dapat terampil dalam pekerjaannya. Bahkan aku mendengarkan kabar bahwa Ia digelari sebagai karyawan terbaik tahun ini.

Entah apa alasan mama memintaku untuk dekat dengannya. Walau terbersit di hatiku ada sesuatu yang janggal seolah memaksaku untuk berfikir lebih dalam. Mencoba menganalisa apa yang dimaksudkan mama dari semuanya ini. Meski aku tak yakin akan kebenaran dari firasatku ini.Berusaha mendekatkanku dengan Hamdan, agar aku melupakan masa laluku dengan Raffi. Mungkin itu yang mama mau. Bagaimana mungkin tebakku bisa salah, nampak jelas dari tingkah mama yang seolah selalu menjodoh-jodohkan aku dengan Hamdan. Tetapi memang benar layaknya apa yang aku rasakan sekarang. Jalanku terasa begitu Naif ketika menuruti apa kata mama. Aku hanya menjalaninya, namun hatiku tak ikut berjalan bersamaku. Bagaimana pertemanan ini akan berjalan indah bila aku tak dapat menerima Hamdan dengan baik dihatiku. Hanya itu yang menjadi bahan berfikirku saat ini.

Sore ini aku akan keluar bersama Hamdan. Aku hendak mengajak Hamdan pada suatu tempat yang begitu bersejarah bagiku. Tempat dimana aku dan Raffi bersenda gurau, saling mengisahkan kisah lucu kita pada masa lalu. Alasanku hanya ingin menceritakan semua kenanganku bersama Raffi kepada Hamdan. Fikirku Hamdan akan menghindar dariku setelah semua cerita itu didengar olehnya. Dan Ia akan menjauh dariku untuk waktu yang lama sehingga Ia dapat menerimaku sebagai teman layaknya sekarang ini. Akhirnya aku dan Hamdan duduk pada sebuah kursi yang telah tersedia di situ. Karena memang hanya kursi itu yang tersedia. Kursi yang telah lama menungguku dan Raffi. Namun kali ini kursi itu tak lagi menerima orang yang sama. Kami pun duduk berdua di kursi itu. Kuceritakan apa yang telah kutata sebelumya.

Kutunjukkan ekspresiku yang penuh dengan hati dan perasaan, seolah kejadian itu sedang aku alami. Dan pada akhirnya Hamdan menanggapiku akan semua kisah yang telah aku dongengkan padanya.“Ada satu hal di dunia ini yang terlalu berharga untuk kamu sia-siakan. Untuk apa kamu berlarut-larut dalam lukamu ini. Padahal ada banyak hal di dunia ini yang begitu berharga untuk kamu lewatkan. Cobalah kamu ihat pada berbagai belahan dari dunia ini, bukankah kamu hanya dapat  menikmati sebatas jarak pandangmu? Makanya itu, kamu harus melihat pada sisi-sisi dari dunia ini yang belum terjangkau dari jarak pandangmu.

Lukislah hidupmu dengan berbagai warna. Karena hidupmu tidaklah berharga dengan hanya berdiam meratapi kesedihanmu saat ini.”Tegasnya padaku. Ia sampaikan kata-kata itu dengan tenang dan penuh kepercayaan. Meyakinkanku dengan curahan geriknya yang lantang itu. Aku pun tak menyangka Ia akan meresponku dengan begitu simpati.Jawaban yang membuatku terkesan padanya. Tidak hanya pada jawabannya, namun juga pada orangnya. Pada sosok Hamdan yang selama ini aku abaikan segala hal  tentangnya. Namun hari ini Ia menghiburku dengan segala curahan hatinya. Ia tujukan semua kepeduliannya padaku. Pada orang yang begitu lemah ini.

Senja mulai datang. Bersama barisan jingga yang tak pernah lupa Ia bawa. Kecuali pada hujan yang menutupi jingga. Sembari menatap ke arah dimana sang mentari akan kembali. Kusandarkan kepalaku pada bahu Hamdan. Menikmati senja sore itu. Entah kenapa, senja di sore ini berbeda dengan biasanya. Cahaya sang mentari yang hendak kembali keberabannya terus berusaha menerobos, dan mencari celah-celah dimana ia dapat menampakkan sinarnya pada dunia. Namun awan itu sedikit demi sedikit berubah menjadi mendung yang tak begitu pekat.  Dan kulihat rintikan air mulai berjatuhan. Rintikan yang kecil, dengan angin yang sepoi membasahiku dan Hamdan yang tengah menyaksikan senja itu.

Hamdan beranjak dari kursi itu, ia carikan selembar daun pisang untuk berteduh. Ia hampiri aku dengan genggaman erat daun pisang yang tak ada kesobekan sedikit pun pada hijaunya. Ia tutupkan daun pisang itu padaku. Masih pada tempat itu untuk menyaksikan senja bersama gerimis yang membawa nuansa romatis. Tak lama dari itu terlihat suatu bayang pesawat yang menghampiri kursi yang kami duduki. Aku mulai merasa ketakutan. Bayangan itu seolah terus menghampiri. Perasaanku tak karuan, kutunjukkan rasa takutku. Kututupkan wajahku pada lengan hamdan, mencari perlindungan pada sosok yang gagah itu. Namun bayangan itu tak mau mengalah dariku. Ia terus mendekat kepadaku. “Hamdan lindungilah aku!” Pintaku pada Hamdan. Hamdan hanya terdiam dan membelai rambutku. mencoba memberikan ketenangan padaku.

Bayangan itu hilang tiba-tiba setelah aku mengedipkan mataku. Ternyata itu hanya ilusi semata. Aku tak mengerti apa maksud dari bayangan pesawat itu. Aku pun mulai berfikiran negatif. Mungkinkah Raffi tak menyukai keberadaanku bersama Hamdan? Namun hamdan selalu mencegahku. Ia tenangkan aku layaknya seorang hipnotis yang mampu meluluhkan seseorang dengan kata-katanya.
“Jangan berfikir yang macam-macam mengenai bayangan pesawat tadi. Dia hanya mimpi buruk yang berusaha merusak masa depanmu!” ucap Hamdan padaku.Mungkin memang benar apa yang dikatakan oleh Hamdan. Aku harus memulai hidupku yang baru. Melupakan Raffi, dan membangun masa depanku yang lebih berharga.

Sebulan telah berlalu. Kejadian senja sore itu telah membawaku pada perubahan yang besar dalam hidupku. Akhirnya apa yang kufikirkan tentang mama memang benar adanya. Mama telah lama merencanakan ini sebelumnya. Ia telah menjodohkanku pada Hamdan. Dan mama mengenal Hamdan pun telah lama. Mama mengenalnya saat perjalannya dari Singapur ke Indonesia, pada salah satu pesawat yang mama tumpangi. Di situlah awal mama bertemu dengan Hamdan. Yang akhirnya kini melibatkan Hamdan pada kehidupanku. Dari situlah kini aku mendapatkan kehidupanku kembali. Dan kini mulai kurajut hidupku kembali bersama Hamdan. Kulukiskan kembali di bawah senja pada sebuah batu yang dulunya tertulis nama Raffi dan kini kurubah nama itu, kulukiskan pada batu itu nama Hamdan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar