Selasa, 03 Desember 2019

Di Sudut Kota Ini


Gerimis mulai membasahi jalan yang bisu dan sunyi. Kini frekuensi rintikannya semakin cepat membuat seorang gadis mempercepat jalannya supaya tubuhnya tidak basah oleh rintikan gerimis yang mulai deras. Sampailah dia di sebuah rumah minimalis dengan cat di dominasi biru dan putih. Rumah yang tidak begitu besar namun rapi, tidak juga mewah namun terasa indah ketika melihatnya. Gadis tersebut melepas jaketnya dan mulai masuk ke dalam rumahnya.Selamat sore, bu” ucap gadis tersebut sambil masuk ke dalam rumah.“Iya, nak. Masuk dulu, ibu lagi nanggung masak nih.

Memasak makanan favoritmu ini.”“Ibu harus banyak istirahat, jangan terlalu capai, nanti asmanya bisa kambuh.”“Tidak apa-apa, nak. Bagaimana pekerjaanmu, lancar kan?”“Iya bu, sebentar lagi Inke naik jabatan. Terima kasih atas doa ibu buat Inke selama ini.”“Sama-sama, nak. Ibu bangga sama kamu, sayang. Yuk makan dulu, nanti keburu dingin!.”Gadis itu bernama Inke Pelita Sari. Orang tuanya memberikan nama tersebut supaya nantinya dia bisa menjadi pelita yang artinya penerang bagi keluarga dan juga kedua orang tuanya.Sayangnya hanya tinggal ibu saja yang bersamanya kini sedangkan sang ayah pergi tak tahu kemana rimbanya.

Terakhir kali Inke melihat wajah sang ayah ketika duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama, saat itu ia pamit mau mencari pekerjaan yang lebih mapan di kota seberang, namun nyatanya sampai kini tak tampak batang hidungnya. Hanya tinggal Inke dan sang ibu yang tinggal di rumah minimalis itu. Mereka berdua pun lahap memakan menu sederhana yang tersaji di atas meja. Nasi goreng dengan petai goreng habis tanpa sisa dimakan oleh mereka berdua. Tidak lupa mereka mengucapkan syukur atas rahmat Tuhan yang diberikan hari ini atas kesehatan, oksigen gratis, dan tentunya kebersamaan yang masih ada sampai saat ini.“Ke, kamu tadi dipanggil sama Danu. Di tunggu tuh di parkiran, ada yang penting katanya. Sana gih ke sana, keburu pergi orangnya.”

“Memang Danu mau ngomong apa?” tanya Inke heran. Pasalnya selama ini Danu tidak pernah berbicara dua mata dengannya. Selalu saja mereka ngobrol saat bersama dengan teman kantor yang lainnya.“Ya mana aku tahu, Ke. Kalau aku tahu pasti sudah aku bilangin sama kamu. Sudah sana daripada penasaran. Keburu jam istirahat habis.”Inke mengangguk mengiyakan. Dia pun menyusul Danu ke parkiran yang dimaksudkan Tanti teman dekatnya itu. Inke celingak-celinguk mencari sosok Danu, di setiap sudut parkiran kosong tak ada siapa pun. Apa Tanti membohonginya? tapi itu tidak mungkin Tanti orang yang baik. Selama ini dia tidak pernah mengecewakannya.“Sssstt....... Ke, sini!,” bisik seseorang.

Inke mengedarkan pandangan ke seluruh sudut, mencari sumber suara. Sampai akhirnya dia menemukan Danu tampak sembunyi di balik tembok. Inke pun menghampiri Danu.“Ada apa? mengapa kamu nyuruh aku ke sini?,” tanya Inke.“Inke, aku rasa sudah saatnya bilang ini ke kamu,” ucap Danu sambil menatap tajam Inke.“Ada apa to, Nu. Kita kan bisa berbicara enggak di sini. Disangka maling kita, Nu.”“Aku terpaksa Ke, aku cuma mau ngomong. Mau enggak ke kamu jadi istri aku? jadi ibu dari anak-anak aku?,” tanya Danu serius.Inke melongo, enggak nyangka Danu akan sejujur ini. Danu cowok cerdas berkulit putih, tinggi, berkumis tipis akan mengatakan hal itu kepadanya. Enggak nyangka Danu akan jatuh cinta kepada seorang Inke yang hanya tamatan SMA.“Kaget ya?,” tanya Danu polos.“Ya iyalah Nu, habis makan apa kamu kok ngomong gitu?”

“Tadi habis makan tumis isi kedondong,” seloroh Danu mencairkan suasana.Inke terkekeh. “Tapi.... maaf Nu.”Danu menggelengkan kepala. “Enggak perlu jawab sekarang, Ke. Aku tahu kamu enggak mau pacaran kan? aku serius Ke, cuma kamu yang ada di hati aku sekarang. Tolong kenal aku lebih dekat. Jika memang aku enggak pantas buat kamu, ikhlas aku lepasin kamu.”“Kamu enggak ngerti keluargaku, Nu.”“Aku ngerti.....ngerti banget ke. Kamu cuma tinggal sama ibumu to? kita bisa tinggal bertiga nanti.”“Dari mana kamu tahu?,” tanya Inke dengan mata mulai berkaca-kaca.“Enggak perlu malu, enggak perlu nutupin itu. Aku mau kamu aman sama aku, kamu jagain ibumu, aku jagain kamu.”
Tangis Inke semakin deras. Selama ini dia sudah nyoba nutup hatinya untuk semua cowok. Baginya semua cowok itu sama, setelah sang ayah meninggalkannya dan ibunya berdua. Tapi kini Danu hadir dan memintanya untuk masuk ke dalam hidupnya, menjadi belahan hidupnya. Kegalauan muncul di hati Inke. Apakah dia mampu membuka hatinya sedikit untuk Danu setelah selama ini dia mencoba menutup pintu hatinya rapat-rapat.“Bisa, Ke? ngasih aku kesempatan?”Inke mengangguk kecil.” Satu minggu.Danu memicingkan mata. “Seminggu enggak akan cukup buat kamu ngenal aku.”“Lalu?”“Satu bulan ya. Please!”Inke mengangguk tak kuasa menolak. Danu pun tersenyum melihat Inke yang tak berkutik. Yang dia tahu saat ini dia sudah satu langkah lebih maju dibandingkan hari kemarin.

Malam ini Danu dan Inke menghabiskan malam minggu berdua. Mereka memesan dua capcai goreng dan dua gelas teh hangat di warung lesehan di pojok kota. Suasana malam itu begitu syahdu karena sejak sore tadi gerimis mengguyur jalanan yang kering kerontang, membuatnya basah dan terasa lembap. Untung sesudah maghrib gerimis ini berhenti, menyisakan aroma khas yang membuat siapa pun yang menciumnya ingin bernostalgia.“Tahu enggak, kalau kita berjalan ke arah utara itu udah beda kota loh,” ucap Danu.“Apa iya? bukannya masih sama ya?”

Danu menggeleng.” Udah beda, makanya warung lesehan ini jadi pembatas kota. Dulu sih aku menyebutnya warung pojok. Aku dan ibuku suka ke sini saat malam.”“Ibumu sehat, Nu?”Danu tersenyum kecut.” Sejak lulus kuliah ibu meninggal. Lalu aku merantau nyari kerja di kota ini.”“Loh, kamu kan asalnya dari kota ini?”Danu menggeleng. “Aku asal kota seberang. Udah dua tahun aku merantau di sini, lalu ketemu kamu, lalu jatuh cinta, lalu nembak, eeh masih digantung sampai sekarang.”Inke terkekeh. Selera humor Danu ini boleh juga. Inke orang yang kaku sampai bisa tertawa mendengar celotehnya. “Lalu ayah kamu?”“Aku enggak peduli sama dia, Ke. Mau sehat mau sakit enggak aku pikirin.”
“Besok kalau kita nikah tetap harus minta restu sama dia kan, Nu? kamu enggak boleh kaya gitu ke ortu sendiri.”Danu menatap Inke sambil tersenyum kecil. “Nikah? jadi udah boleh nih jadi suami kamu?”“Sudahlah, jangan dibahas. Lihat saja entar. Selama ini kamu pacaran berapa kali?”“Udah, Ke. Itu enggak penting. Udah masa lalu.”Sehabis dari warung pojok, Danu mengantarkan Inke ke rumahnya. Sikap Danu yang sopan dan supel mampu dengan mudah mengambil hati ibu Inke. Terlebih lagi Danu tidak pernah memulangkan Inke sampai larut malam. Ibu Inke pun setuju dengan hubungan mereka.

Waktu terus bergulir, enggak terasa satu bulan berlalu dengan cepat.  Sikap Danu yang begitu sopan mampu membuka pintu hati Inke. Akhirnya Inke pun menyetujui untuk menerima lamaran Danu. Sore ini Danu meminta izin ke Inke untuk membicarakan hal ini keadaan ayahnya sekaligus meminta restu. Ayahnya ada di kota seberang, meski hubungan antara Danu dan ayahnya ini tidak begitu baik tapi Danu tetap meminta izin kepadanya. Bagaimanapun juga ayahnya tetap orang tuanya yang harus dimintai restu.Malam ini Danu pulang ke kotanya. Dia berjanji sebelum satu minggu akan kembali untuk meminang Inke dan menyiapkan segala sesuatunya. Inke melepas Danu dengan perasaan gelisah. Seolah-olah hari ini terakhir dia bertemu dengan Danu.“Nu, kamu pasti kembali kan?”Danu mengangguk. “Pasti, Ke. Setengah hatiku tertinggal di sini. Di kota ini. Tunggu aku sampai kembali. Aku pasti kembali, kembali untukmu.”

Inke menitikkan air mata. Jari jemari Danu mengusap air mata yang menetes di kedua pipi Inke. ”Tenanglah, aku akan kembali. Yakinlah padaku.”“Tapi, Nu. Entah kenapa perasaanku tidak enak.”“Jangan terlalu dipikirkan, aku pergi dulu ya, Ke. Jaga hatimu untuk aku.”Malam ini terasa lebih panjang dibandingkan malam-malam sebelumnya. Meski sudah menunjukkan jam dua belas malam mata Inke masih belum mau terpejam. Masih teringat di pelupuk matanya kepergian Danu malam ini. Pesan singkat yang dikirimkan kepadanya pun belum terbalaskan sampai sekarang, padahal kalau dipikir-pikir Danu sudah sampai di kota seberang dua jam yang lalu.

Saat di kantor pun, Danu juga sama sekali tidak menghubunginya. Apa ada yang salah dengan diri Inke hingga Danu kini menjauhinya. Untuk bekerja pun Inke tidak fokus, hati dan pikirannya dipenuhi oleh Danu, Danu, dan Danu. Saat hatinya sudah dipenuhi dengan nama Danu, mengapa ia tega mengkhianatinya?.Waktu terus berganti, tidak terasa sudah 3 bulan lamanya Danu pergi dari kehidupan Inke tanpa kabar. Pada malam ini Inke kembali datang di warung yang ada di sudut kota, dimana Danu dan Inke sering menghabiskan waktu berdua dan mengobrolkan banyak hal. Malam ini Inke berharap hubungannya dengan Danu bisa menemukan titik terang.

“Malam, bu. Saya Inke, ibu masih ingat saya kan?”Pemilik warung tersebut menatap wajah Inke tajam, kemudian seolah teringat sesuatu. ”O... mbak Inke. Iya dua bulan yang lalu mas Danu ke sini. Dia nitipin ini.”Pemilik warung tersebut menyerahkan sepucuk surat untuk Inke. Tangan Inke tampak gemetar menerimanya. Pikirannya seolah menolak untuk membacanya, namun hatinya mendesak untuk membacanya. Bukankah ini yang dia harapkan? sebuah kepastian yang selama ini Inke selalu nantikan. Dengan tangan gemetar, Inke membaca kalimat per kalimat yang ada di sana. Butiran-butiran air mata pun mulai membasahi surat itu.

Maaf, Inke. Ternyata aku memang tidak pantas untukmu. Maafkan aku tidak bisa melanjutkan hubungan ini, ku harap kamu mendapatkan pengganti yang lebih baik dari aku. Aku tidak bisa memberitahumu alasan mengapa aku lakukan ini. Ku harap suatu nanti kamu juga akan mengerti mengapa aku terpaksa melakukan ini kepadamu ...Danu....Tangis Inke semakin pecah, pemilik warung mencoba menenangkan Inke yang tampak kacau. Inke tak kuasa menahan tangisnya. Tiga bulan sudah dia menanti Danu kembali, tapi apa yang dia dapatkan saat ini? kosong, hampa, rapuh, dan rasa sakit yang teramat dalam.

Inke pulang dengan perasaan yang kacau. Ibunya khawatir dan tentunya sedih dengan kondisi Inke yang seperti itu, tapi apalah daya ibu Inke hanya bisa menyemangati, supaya kehidupan Inke harus tetap berjalan meski harus berteman dengan rasa sakit.“Sabar, Ke. Yang namanya jodoh itu rahasia Tuhan. Sebagai seorang hamba, kita hanya bisa menjalaninya sambil terus berdoa dan berusaha. Kalau memang Danu belum jodohmu, Tuhan akan menggantikannya dengan yang lebih baik. Jangan tutup hatimu untuk hati yang baru, karena takdir itu tidak ada yang tahu,” ucap ibu Inke lembut.

Waktu demi waktu berlalu, Inke akhirnya mulai bisa menerima kenyataan. Meski Danu masih ada di dalam ingatannya, namun dia mulai bisa berdamai dengan hati dan hidupnya. Selalu ada hikmah di balik cobaan yang diberikan oleh Tuhan. Berkat kerja kerasnya, Inke kini menempati posisi prestisius di kantornya. Hari ini pun Inke bertugas untuk memantau kantor cabang yang ada di luar kota.“Bu, kereta Inke sudah mau berangkat. Doakan Inke agar selamat sampai tujuan ya.”“Iya, nak. Jangan lupa berdoa dan selalu hati-hati.”Inke mengedarkan pandangan ke sekeliling stasiun. Sambil terus mengobrol dengan ibunya lewat telepon, kemudian pandangannya tertuju pada sesuatu. Inke berlari mendekatinya dan seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya.“Danu,” ucapnya lirih.

Danu tak paham, sekali-kali dia tersenyum tanpa arti. Bibirnya menceracau tanpa jelas disertai dengan pandangan kosong. Danu terduduk di atas kursi roda. Gumaman-gumaman tidak jelas semakin sering terdengar.“Oh maaf, anak saya ini sedang sakit. Apa Anda mengenalnya?”Inke familiar dengan suara tersebut. Dia pun kemudian mendongakkan wajahnya. “Ya Gusti, kenapa aku harus melihatmu lagi!!!” pekik Inke.Pandangan Inke berubah menjadi gelap. Bumi ini seakan runtuh menimpa tubuhnya. Memang tidak ada satu pun manusia yang mengetahui rahasia kehidupan yang sudah Tuhan siapkan untuknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar