Selasa, 03 Desember 2019

Aku, Anakmu


Aku, Anakmu "Perihal kata yang tak sempat terucap, aku menyayangimu ibu". Tetesan demi tetesan air mata selalu mengalir di pipiku saat ku menuliskan curahan hatiku tentang ibu. Malaikat tak bersayap yang ada di dunia ini. Mungkin kebanyakan orang akan merasa sempurna, karena benar-benar merasakan kasih tulus seorang ibu. Berbeda denganku, pilih kasih terkadang benar-benar menjadi monster jahat yang membuatku membenci keadaan yang ada.

"Tasya, nanti selesai sekolah kamu langsung pulang ya, banyak pekerjaan rumah yang harus kau selesaikan. Gausah keluyuran, nanti kakakmu pulang sore soalnya mau jalan-jalan dulu. Kamu langsung pulang." Ucap ibu dengan nada tingginya, dan aku hanya mengangguk. "Iya bu, nanti Tasya langsung pulang ke rumah".Aku bergegas berangkat ke sekolah dengan mengendarai sepeda milikku yang telah usang di makan waktu. Sepanjang perjalanan aku hanya bisa bergumam, "Sebenarnya aku ini siapa? Mengapa aku dibedakan? Lihat saja Kak Kayla, ia selalu mendapat perhatian lebih dari ibu. Ibu selalu bersikap lembut padanya, membanggakan apa yang ada di diri Kak Kayla. Padahal jika di fikir-fikir, aku ini lebih dari Kak Kayla.

" Tiiiit... Tiiiittttt"Suara klakson mobil itu mengagetkanku. Aku langsung memberhentikan sepeda yang ku kayuh. Nampaknya aku salah tempat untuk melamun. Bel sekolah berbunyi tepat saat aku memasuki gerbang sekolah. Pemandangan yang selalu membuatku iri, yakni puluhan anak yang memiliki nasib lebih sempurna dibandingkanku. Mereka diantar orang tuanya ke sekolah, diberi uang saku, disiapkan bekalnya dan dikecup keningnya serta dibisikan harapan-harapan tulus orang tuanya. Dengan harapan buah hatinya kelak menjadi orang yang berguna.

Langsung saja kukayuh sepedaku menuju parkiran sekolah, tempatnya berada di ujung timur sekolah ini. Dan ku bergegas masuk kedalam kelas. Mengikuti pelajaran sebagaimana mestinya.
"Anak-anak, sepulang sekolah nanti kalian semua tinggal di kelas ini sebentar ya. Ibu akan mengadakan ulangan harian sebagai ganti diundurnya ulangan minggu lalu. Ibu harap kalian semua bisa mengikuti dan tidak ada yang izin pulang".Semua menjawab "siap bu". Namun hatiku benar-benar gelisah, bukan karena takut ulangan harian itu. Tapi aku takut ibu akan memarahiku saat pulang nanti. Apalagi ibu tadi sudah memberi pesan padaku dengan wajah yang judes.

Saat ibu guru keluar dari kelas, aku bergegas mengejarnya. "Bu guru..""Iya Tasya, ada apa?""Nanti ulangannya kira-kira sampai jam berapa ya bu? Soalnya saya ada janji dengan ibu saya"."Sebentar kok sya, jam 3 sore kalian udah pulang.""O yaudah bu, terimakasih".Aku menarik nafas lega, karena ulangannya hanya satu jam. Sampai di rumah nanti aku akan bilang jika tadi ada ulangan mendadak. Jadi ibu tidak akan memarahiku."Baik anak-anak, ibu harap nilai kalian memuaskan. Dan dapat mencapai hasil sempurna. Terimakasih, silahkan menuju rumahnya masing-masing."Aku segera berlari menuju parkir di ujung timur, dengan tergopoh-gopoh ku kayuh sepeda tua ku dengan laju cepat. Aku takut jika ibu memarahiku. "Assalamualaikum bu, Tasya pulang."

Baru saja aku hendak melangkahkan kakiku masuk ke dalam rumah, tiba-tiba ku dengar barang yang terjatuh, nampaknya barang tersebut berada di dapur dan suara tersebut sengaja di buat. Wajahku mendadak pucat dan tanganku yang tadinya bersuhu normal menjadi dingin. Ibu murka.
"Ibu?". Hanya sepatah kata yang mampu ku ucap, dengan posisi membelakangiku kulihat ibu sedang geram dan membalikkan badan. "Kamu ini darimana saja, sudah ibu bilang. Pulang sekolah itu langsung ke rumah. Gausah mampir-mampir. Kemana saja kamu keluyuran? Sengaja ya, mau lepas tanggung jawab. Jadi anak itu tau diri dong, ibu itu sudah membesarkan kamu dari kecil. Kenapa kamu gak nurut sama ibu?".

Aaa..aku". Udah, gausah aku akuan, kamu ini kalau dinasehati bantah mulu. Lihat dong kakak kamu, dia itu udah cantik, pintar, pandai bergaul pula. Lah kamu apa? Anak nggak tau di untung."
Tamparan keras yang menusuk relung kalbuku. Bukan sakit fisik, tapi batinku yang terkoyak. Buliran air mata kembali memenuhi wajah mungilku. Aku bergegas melangkah ke kamar dan menghempaskan tubuhku di kasur. Sambil menatap langit-langit kamar, ku pandang dinding. Disana ada foto kecilku bersama ibu, ibu tampak tertawa bahagia menggendongku. Lalu dimana ibu yang ada di foto itu? Cukupkah waktu sesingkat umurku ini untuk mengubah sikap lembut ibu menjadi ganas seperti sekarang? Apakah aku tak diharapkan? Ataukah aku dilahirkan merupakan satu kesalahan?

Ku rasa, sebesar apapun kesalahan yang diperbuat oleh Kak Kayla merupakan kesalahan yang kecil di mata ibu. Kak Kayla tetap menjadi anak tersayang ibu, meskipun aku adalah adiknya, dan Kak Kayla adalah kakaknya. Kebanyakan orang tua pasti akan lebih bersikap lembut terhadap adiknya. Karena dirasa, kakaknya sudah cukup mandiri. Namun, tidak dengan kehidupanku. Aku merasa akulah yang terlalu banyak mengalah. Mengorbankan ceriaku hanya demi kebahagiaan kakakku.
Tak apa bu, semarah dan segarang apapun ibu kepadaku, ku yakin ibu punya cara lain untuk mendidikku. Ibu menyayangiku dengan cara lainnya, agar aku kuat dan tumbuh menjadi gadis yang punya pemikiran dewasa. Ibu sayang aku, bukankah begitu ibu?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar