Selasa, 03 Desember 2019

Kupegang Sumpahku


Wira masih menatap pesimis celengan ayamnya. Ia bimbang, gelisah, dan merasa bersalah dengan pemikirannya. Di satu sisi, ia ingin menerima tawaran Kepala Sekolah untuk menjadi paskibra kabupaten di Alun-alun Purworejo saat Upacara hari Sumpah Pemuda tanggal  dua puluh delapan Oktober nanti. Namun di sisi lain, ia tak mau melepaskan tawaran job manggung pada pernikahan bibi temannya. Ya, Wira bekerja part time sebagai organis untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Ibunya sudah tidak bisa diharapkan lagi karena beliau pun sedang berbaring lemah di rumah sakit saat ini.

Ditambah lagi, ia membutuhkan biaya tambahan untuk perawatan pascaoperasi ginjal ibunya yang rusak. Ayahnya, entah ia punya ayah atau tidak, namun selama ini Wira tak pernah mendengar tentang dia.“Plak...!” Terdengar suara pecahan tanah liat kering. Wira melihat beberapa puluhan ribu dan serpihan logam yang tercecar kemana-mana. Ia memungutnya satu persatu dan merogoh uang itu dari kolong tempat tidur sampai bersih. Tanpa bersisa. Tanpa ketinggalan. Kecuali pecahan tanah liat itu.Sudah dua kali Wira menghitung uang yang dikumpulkannya selama tiga tahun bekerja. Namun, dari raut wajahnya, nampaknya jumlah uang tabungannya sangat mengecewakan. Ia menangkupkan kedua tangan ke wajah.

Mungkin berusaha mempertahankan kejantanannya tanpa menguras setetes air mata pun. Beberapa detik ia menahan posisi seperti itu. Emosi sesaat itu pun mereda dan Wira kembali ke dalam realita hidup yang membutuhkan penyelesaian. Pasti ada, entah bagaimana caranya. Ia harus mencari uang, ia harus bekerja untuk tetap hidup. Di sekolah, berbekal sebuah keputusan bulat, Wira memberanikan diri untuk menemui Kepala Sekolah. Ia sudah merancang kata-kata untuk memberi alasan penolakan itu. Walau begitu, Wira masih gugup

Kenapa Wira? Kamu adalah salah satu murid yang berbakat. Bahkan, ini adalah permintaan dari pemerintah daerah, masak kamu menolaknya,” Bapak Kepala nampak terkejut dengan keputusan Wira yang terkesan meremehkan tugas sebagai paskibra kabupaten itu.“Bukan begitu, Pak. Maafkan saya, tapi ada hal yang lebih penting di hari itu,” Wira masih menunduk namun kata-katanya sangat yakin dan lantang. Bagaimana tidak, hal ini sudah dipikirkannya sampai jam dua belas malam. Ia sangat serius dengan tindakannya, dan ia pun sebenarnya sangat dan lebih ingin menjadi paskibra daripada mendapat uang.

Tapi bukan dia yang membutuhkan, melainkan ibunya yang malang.“Baiklah, tapi bolehkah saya tahu alasan kamu? Bukan saya ingin tahu hal-hal yang bersifat pribadi, tapi saya perlu tahu karna bulan depan, saat hari Sumpah Pemuda, kamu pasti juga tidak akan menghadiri Upacara di Sekolah. Kamu harus memberi alasan.” kata Pak Kepala dengan tenang dan bijaksana.“Saya bekerja, Pak.”“ Oh, iya saya tahu kalau kamu menjadi tulang punggung keluarga. Tapi, tidak bisakah untuk hari itu saja kamu meninggalkan pekerjaanmu?” pinta Pak Kepala dengan sedikit memohon. Namun, ini sama sekali tak menurunkan wibawanya.

Tidak, Pak. Saya sangat membutuhkannya. Maaf, Pak.” Wira sangat menyesalkan penolakan itu. Ia menyesalkan banyak hal. Kenapa ayahnya pergi, oh bukan, maksudnya kenapa ia tak memiliki ayah, kenapa ibunya harus sakit, dan kenapa pernikahan bibi temannya harus pagi hari!Keluar dari Ruang Kepala Sekolah, wajah Wira nampak lesu. Namun ada sedikit kelegaan yang hinggap setelah menutup pintu, yaitu ia dapat menjelaskan alasan itu dengan baik tanpa harus bertele-tele. Pak Kepala Sekolah memang sangat pengertian. Sebetulnya, ia sangat mengerti keadaan Wira. Beliau sering memerhatikan anak itu  karena ia adalah anak yang menonjol di SMA Abita Purworejo.

Wira berjalan melewati koridor kelas menuju lobby sekolah, dan kembali ke kelasnya. Disana Mika sudah menantinya dengan mata berbinar-binar penuh harap.“Bagaimana, Wir? Kamu menerima kesempatan itu?” tanya Mika antusias.“Nggak,” jawab Wira datar sambil berjalan ke arah tempat duduknya. Tepat saat ia menempelkan pantatnya ke benda berkaki empat itu, terdengar teriakan keras dari luar.“Wira! Gimana? Terima job tante gua?” tanya Roy tanpa basa-basi. “Bukan gua maksa, tapi tante gua cerewet banget minta konfirmasi dari lo. Emang, tante gua perfectsionis  banget. Apa-apa harus siap. Dia nggak mau ada sesuatu yang salah saat pernikahannya.

Maklum, udah kepala tiga, hehee,” Roy meringis tanpa merasa terbebani. Namun kepolosan Roy malah membuat Wira tambah jengkel. “Ya. Gua ambil, tuh!” ujar Wira ketus. Bukan apa-apa, Wira sangat sensitif dalam keadaan seperti ini.“Oh, jadi ini yang membuat kamu menolah tawaran jadi paskibra kabupaten?” Diam-diam Mika mendengarkan Roy dan Wira. Roy pun keheranan dengan pernyataan Mika. Ia memandangi Wira yang masih menunduk lesu dengan tatapan kebingungan dan merasa bersalah. Namun, ia tak berani mengatakan sepatah kata pun jika ia tak mau terjadi ledakan di kelas itu.

Pulang sekolah, Wira menyempatkan diri menjenguk ibunya di rumah sakit. Ketika membuka pintu nomor dua kosong lima kosong, dilihatnya seorang dokter sedang serius memeriksa wanita yang terbaring lemah di ranjang sempit dengan lebar sekitar satu meteran itu. Dari tatapan dokter, Wira merasa ada sesuatu yang ganjil. Ia pun memberanikan diri untuk menerima jawaban.“Ada masalah dengan ibu saya, Dok?” tanya Wira tenang.“Oh, tidak. Ibu kamu hanya sedikit kelelahan karena dari tadi berkeliling taman. Mungkin ia kesepian. Lebih baik kamu sering-sering menjenguknya,”  terang dokter itu sambil tersenyum penuh wibawa. Ia pun meninggalkan Wira dan ibunya di ruangan itu.

Bagaimana kabarmu, Nak?” Ibu Wira terlihat berusaha mengumpulkan tenaga untuk megatakan kalimat singkat itu.“Ba...baik, Bu,” jawab Wira sambil memberikan senyuman paksa.“Kenapa? Ada apa?” Wanita itu menyipitkan matanya yang sudah sipit. Wira masih diam. Ia tahu, ia sama sekali tak bisa membohongi ibunya. Jadi, daripada berbohong percuma, mending tak mengatakan apa pun. “Jelaskan, Nak. Kalau tidak Ibu akan kecewa!” ancam Ibu.“Ibu, tapi jangan anggap ini berlebihan. Aku hanya menolak menjadi paskibra kabupaten di hari Sumpah Pemuda karena ada kesempatan pekerjaan manggung. Tapi, tidak ada apa-apa kok, Bu. Aku hanya merasa bersalah saja.

Kata Wira tanpa memberikan pernyataan kebohongan apapun, hanya saja dia mengurangi kadar emosi dalam hatinya ke dalam kalimat itu.“Astaga, Nak!” seru wanita paruh baya di hadapan Wira. “Kamu, berani sekali? Kesempatan? Kesempatan itu bukan pekerjaannya tapi kesempatan itu adalah sebuah kepercayaan yang diberikan kepadamu. Kenapa kamu bisa bertindak seperti itu? Apa kamu benar-benar dibesarkan Ibu selama ini? Astaga!” keluh Ibu Wira.“Tapi, tapi, Bu...” belum selesai kalimat Wira, ibunya menyela, “Sudah, kamu pulanglah dan renungkan kesalahanmu!” perintah Ibu Wira dengan tegas. Wira pun pergi tanpa membalas sepatah kata pun.

Di perjalanan pulang, Wira teramat kesal dengan ibunya. Bagaimana mungkin Ibunya tidak mengerti, padahal yang dilakukannya semata-mata untuk ibunya. Wira berpikir, ini semua pasti karena Ibu tidak merasakan apa yang dirasakan Wira. Dia yang harus bekerja, dia harus membiayai perawatan ibunya, dan...,”Argh!” Wira mengacak-ngacak rambutnya. Bukan karna melampiaskan kemarahannya pada ibunya namun lebih karena merasa tolol karena telah  menyalahkan seseorang yang melahirkan dan membesarkannya selama ini.

Tengah malam, Wira merenungkan perkataan ibunya. Ia pusing dan menyerah untuk berpikir. “Sudah, sudah, aku mengerti! Singkatnya, sekarang aku harus bagaimana? Terima atau tidak. Jangan bertele-tele! Aish!” Wira menggerutu dalam hati. Tiba-tiba, ia diingatkan oleh penjelasan salah seorang guru SMP-nya. “Tanah siapa yang kita tinggali... Air siapa yang kita minum...Beras siapa yang menjadi santapan sehari-hari...” Wira pun terkenang dengan masa-masa itu. Semua kejadian masa lalunya pun berkelabat di pikirannya. Kenangan pelantikan paskibra, sumpahnya sebagai paskibra, saat ia mencium bendera merah-putih, dan, dan teringat dirinya sebagai seorang pemuda Indonesia yang harus menjalankan sumpahnya.

Keesokan harinya, Wira menemui Pak Kepala Sekolah dan berkata kalau dia menerima kesempatan itu. Pak Kepala dengan senang hati mendengarnya. Selain itu, Wira menemui Roy dan mengatakan bahwa ia membatalkan job manggung itu sebelum hari lebih jauh dan malah membuat stres tante Roy. Tak lupa, Wira menemui ibunya dan menceritakan keputusannya. “Harusnya kau lakukan sejak awal, pekerjaan itu mudah, Nak,” respon Ibu Wira. Walaupun Wira tak sepenuhnya percaya bahwa pekerjaan itu mudah, namun ia tetap akan menjadi Paskibra Kabupaten Purworejo.

Sebulan sebelum hari H, Wira sudah menyiapkan semuanya dengan matang bersama tim paskibra. Jadi, tak usah diragukan kalau penampilannya membuat peserta upacara ternganga. Langkah mereka sangat lantang dan tegap, efek debu pun menambah aura keberanian. Akhirnya Upacara Sumpah Pemuda pun sukses dilaksanakan, dan tanpa disangka, setiap petugas upacara mendapat uang peluh dari pemerintah daerah. Sungguh tak terbayangkan, bahkan ini pun lebih besar daripada jika ia menerima job manggung di pernikahan tante Roy.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar