Selasa, 03 Desember 2019

Takdir Cinta Diana


Suara aliran air dari selang pipa bak mandi menemaniku mencuci pakaian. Menikmati sentuhan busa yang berasal dari sabun yang ku goreskan pada tiap pakaian.Terdengar suara segerombolan orang yang sedang memanggil – manggil namaku.“Dianaaaa, Diiii, Dianaaa.” sorak mereka dari arah depan rumahku.Sudah ku duga itu pasti mereka.Rini, Rita dan Mira. Mereka teman – teman ku sejak kecil. Kami tumbuh bersama. Terkadang mereka menguntungkan untuk ku dan terkadang mereka malapetaka untuk ku. Ya ada apa? Kecilkan suara kalian, ibu ku sedang tidur siang nanti dia bangun” ku jawab dengan nada sedikit kesal“ Jadi ibumu yang cerewet itu sedang tidur? Bagus kalau begitu, kami tidak harus mendengarkan ocehan ibumu saat kami meminta izin untuk membawamu.” kata Rini salah satu diantara mereka.Seperti itulah ibuku. Aku tidak boleh keluar rumah jika tidak ada alasan yang penting. Teman – temanku sudah paham mengenai sifat ibuku itu.“ Apa? Kalian mau membawaku ? kemana ? Aku lagi mencuci pakaian lagi pula jika ibuku tahu bisa mati aku.”

“ Kamu ini terlalu berlebihan Di, tenang saja kami tidak membawamu jauh – jauh kok. Kami mau mengajakmu kerumah tante Titi. Kami akan mengenalkan mu dengan seseorang. Ayo Di!” Rini berusaha meyakinkan ku.“ Tante Titi tetangga sebelah ku ini? Siapa yang mau kalian kenalkan? Aku kenal semua keluarganya.”“ Kami pun tahu itu Di. Bukan pada keluarganya tapi pada tamunya.”“ Tamu? Untuk apa? Kalian membuang – buang waktu ku, aku sangat menghargai jika kalian pulang saja. Pulang lah” ucapku memohon. “ Di rumah tante Titi ada dua perwira yang ditugaskan di Medan. tante Titi hanya tinggal berdua dengan suaminya, sebab itulah ditunjuk rumah tante Titi sebagai tempat bernaung mereka Di.” jelas Mira.

“ Ikut kami sekali ini aja, kamu tidak akan menyesal Di.” Kali ini Rita yang berusaha membujukku.
Aku hanya diam membalasnya,menatap tajam mereka dengan raut wajah yang kesal. Mereka tidak perduli dengan kemarahan ku. Mereka terus saja bicara semaunya“ Gimana Di? Kamu mau ikut dengan kami kan?” tanya Rini. “ Kalian ingin memperkenalkan ku pada tamunya tante Titi untuk apa? Itu tamu tante Titi, aku tidakkenal sama mereka. Kenapa aku? Kenap tidak kalian saja?” Itulah mereka, tidak bisa tenang saat ada orang baru datang ke wilayah kami. Terlebih lagi kami sangat dekat dengan tante Titi, wajar saja jika mereka penasaran.“ Kamu kan tahu, kamu yang paling cantik diantara kita berempat.” kata Rita.

“ Udahlah Di ikut aja dengan kami, kami akan menunggu mu selesai mencuci disini.” mereka mengambil ancang – ancang untuk duduk.Aku mengalah, satu banding tiga sampai kapanpun mustahil untuk menang.Selesai mencuci pakaian mereka langsung menarik tangan ku seolah – olah aku ini narapidana yang akan kabur.“Assalammualaikum tante Titiii.” ucapan salam dari Rini saat kami tiba di rumah tante Titi.“ Waalaikumsalam,kalian ternyata, ayo masuk.” Tante Titi mempersilhkan kami masuk ke dalam rumahnya.Ku terawang setiap sudut rumah , tidak ku temukan seorang pun perwira disini. Apa teman – temanku melabuiku? Awas saja jika benar tidak akan kuberi ampun mereka“ Duduk dulu, tante akan panggil mereka.

Bentar ya.” ucapan tante Titi seakan dia tahu maksud dan tujuan kami datang kerumahnyaTerlihat dua orang berjalan dari balik punggung tante Titi. Apa mereka perwira itu? Kalian tidak akan nyangka atas apa yang kulihat. Mereka tampan sekali. Benar kata teman – temanku, aku tidak kan menyesal menuruti mereka.“ Kenali ini Panji dan yang ini Adit.” Tante Titi memperkenalkan mereka satu persatu pada kami.“ Aku Rini, Ini Diana, Rita, dan Mira” Balas Rini memperkenalkan kami pada perwira-perwira ituBola mata ku tidak berhenti menatap Adit. Tidak tahu kenapa sulit menjatuhkan tatapan mata ku darinya. Dia sopan, ramah, tampan, dan tidak sekaku teman disebelah nya.

Sepertinya Adit merasakan apa yang kurasakan padanya. Dia mencuri – curi pandangan ke arah ku. Getaran – getaran dari dalam dada ku semakin kencangSejak saat itu, aku dan Adit menjadi dekat. Kami sering menghabiskan waktu bersama.Saat ada waktu luang dia mengajak ku makan diluar. Meski harus menciptakan beribu alasan untuk minta izin pada ibuku. Tapi itu semua membuahkan hasil. Kedekatan kami berujung pada suatu komitmen khusus saat ini.Berbulan – bulan kami jalani hubungan ini tanpa ada nya pertengkaran. Dia sangat menyayangiku. Dia akan melamarku selesai dari tugasnya. Itu yang dia janjikan pada ku pekan lalu.“ Di aku pamit ya, aku pergi tugas dulu, kamu jangan macam – macam nggak ada aku.” Katanya menggoda ku.

Dari jauh – jauh hari dia sudah memberitahuku soal tugasnya yang diutus untuk menjaga keamanan konser yang sedang berlangsung. Tidak jauh tempatnya dari rumah.“ Iya kamu hati – hati.” ku lemparkan senyum terbaikku padanya.Hari sudah larut malam. Adit pulang dengan mengendarai motor gedenya. Dia mengalami ngantuk berat, lampu motornya tidak menyala. Dia tidak bisa melihat ada truk di depan sana. Truk memberi isyarat agar Adit menghindar.Tidak ada kebijakan dari Adit untuk menghindar. Tanpa ragu dia mengendarai motornya. Truk semakin mendekat. Alhasil kecelakaan pun terjadi.

Adit mengalami luka parah. Setengah badannya berlumuran banyak darah. Belum sempat dibawa ke rumah sakit dia telah meninggal di tempat. Jenazahnya dibawa kerumah tante Titi dan akan dikebumikan di kampung halamannyaPaginya aku terbangun. Ada acara apa dirumah tante Titi? Tenda terpasang di halaman rumahnya. Banyak orang yang berdatangan memakai baju hitam. Ada apa ini? Ada bendera merah dibiarkan terikat di depan rumahnya. Aku bertanya – tanya pada diriku. Siapa yang meninggal? Rini, Rita, dan Mira datang kerumahku mengenakan pakaian serba hitam. Mereka memasang raut wajah yang sangat sedih“ Di, kamu tenang ya. Kamu yang sabar. Kamu harus kuat.A...a...Adit, dia...dia...dia udah nggak ada Di.” Rini memberanikan diri untuk mengatakan semuanyapada ku

Aku diam seribu kata. Diam mematung. Air mataku enggan untuk jatuh. Nafas ku terasa tersendat- sendat. Apakah ini maksud dari pamitnya Adit?Kalian pasti tahu sakitnya cinta yang sempat dimiliki seutuhnya kini pergi tanpa memberi isyarat. Cinta dua insan yang saling mencintai berakhir sudah. Waktu tidak bisa kembali ke masa lalu.Tidak ada yang salah dalam hal ini. Janjinya telah sampai pada-Nya.Aku pikir dia diciptakan untuk bersanding denganku, mengucap janji suci diantara pengulu dan saksi pernikahan.Takdir cintaku begitu tragis. Sudahlah, tugasnya sudah selesai. Kini tinggal tugas ku bagaimana cara menyikapinya. Aku tidak mau ada kesedihan menghantui ku.

Tiga tahun berlalu dengan sangat cepat. Aku sedang berkumpul dengan teman – temanku di depan rumah. Aku teringat akan menelphone Nia teman SMA ku dulu.Aku meminjam handphone Mira. Ku sentuh lembut tombol angka pada handphone ituuntuk memasukkan nomor temanku. Ku hubungi dia ternyata nomornya aktif“ Halo, Nia, aku Diana kamu masih ingat kan? Teman sebangku mu waktu SMA dulu.” Aku terlalu bersemangat.“ Nia siapa ? Ini Dimas. Salah sambung mbak, nggak ada namanya Nia disini.” “ Salah sambung ya mas. Maaf ya mas .“ langsung ku tutup telphonnya.Ku lihat kembali nomor yang ku tulis dikertas untuk memastikan nomornya benar atau salah. Ternyata ujungnya salah. Pantas saja tersambung ke orang lain.

Ku ketik ulang nomornya. Tiba – tiba saja telphone nya berdering menandakan ada panggilan masuk. Sepertinya aku kenal dengan nomor ini. Ya, inikan nomor yang salah sambung itu. Untuk apa dia menelphone ku balik? Ku jawab telphonnya, penasaran apa yang membuat orang itu menghubungiku kembali“ Halo, saya yang kamu telphone salah sambung tadi.” “ Iya, ada apa ya mas.?” tanyaku heran.“ Nama kamu Diana kan? Kamu Tinggal dimana kalau boleh saya tahu?” Apa maksudnya? Dia bertanya seperti ingin mengintrogasi ku saja.“ Saya dari Medan. Kenapa mas” aku berusaha tetap sopan padanya“ Medan dimananya? Minta alamatnya dong?” Cukup sudah. Orang yang tidak aku kenal minta alamat rumah ku. Untuk apa? Pertanyaannya membuat ku takut. Mau apa dia?

Aku sedikit takut dan malas menjawabnya. Ku berikan telphone itu pada Rini, dia paling bijak diantara teman – temanku yang lain. Dia mengobrol dengan Rini tetapi topik pembahasannya masih seputar diriku. Dia bertanya alamat rumahku pada Rini dengan polosnya dia memberitahu alamat rumahku. Ternyata aku salah mempercayai hal ini pada Rini.“ Di, besok dia mau datang kerumah mu.” kata Rini menggoda kuDia ingin kerumah ku? Jika ibuku tahu ada seorang pria datang kerumah untuk menemui anak gadisnya, apa yang akan terjadi? Bisa tamat riwayatku.“ Jangan ke rumah ku. Ke rumah mu aja. Kau kan tahu ibuku kayak apa.”Rini mengiyakan saran ku.Besoknya Dimas datang kerumah Rini. Kami mengobrol di ruang tamu. Dimas anaknya ramah, baik, dan sedikit pemalu.

Setiap hari libur dia menyempatkan diri menemuiku. Jarak antara Aceh ke Medan tidak lah dekat. Memerlukan waktu berjam – jam. Dari awal sudah terlihat dia tertarik pada ku.
Seiring waktu berjalan Dimas menyatakan cintanya pada ku. Dengan yakin ku katakan ‘Iya’. Tidak tahu atas dasar apa aku menerimanya. Aku belum mencintainya, waktu yang akan memberikan cintaku untuknya. Sampailah hari dimana Dimas datang kerumah untuk melamarku. Orang tua ku menerimanya. Tiga bulan setelah tunangan kami memutuskan untuk menikah. Benih – benih cintaku  tumbuh untuk nya bahkan sudah sangat subur dihati.  Setalah mengalami cinta yang tragis kini muncul cinta yang baru,cinta yang indah untuk ku syukuri. Tidak ada yang dapat menjamin kapan cinta akan tumbuh. Pada siapa, bagaimana caranya, tidak ada seorang pun. 

Aku, Anakmu


Aku, Anakmu "Perihal kata yang tak sempat terucap, aku menyayangimu ibu". Tetesan demi tetesan air mata selalu mengalir di pipiku saat ku menuliskan curahan hatiku tentang ibu. Malaikat tak bersayap yang ada di dunia ini. Mungkin kebanyakan orang akan merasa sempurna, karena benar-benar merasakan kasih tulus seorang ibu. Berbeda denganku, pilih kasih terkadang benar-benar menjadi monster jahat yang membuatku membenci keadaan yang ada.

"Tasya, nanti selesai sekolah kamu langsung pulang ya, banyak pekerjaan rumah yang harus kau selesaikan. Gausah keluyuran, nanti kakakmu pulang sore soalnya mau jalan-jalan dulu. Kamu langsung pulang." Ucap ibu dengan nada tingginya, dan aku hanya mengangguk. "Iya bu, nanti Tasya langsung pulang ke rumah".Aku bergegas berangkat ke sekolah dengan mengendarai sepeda milikku yang telah usang di makan waktu. Sepanjang perjalanan aku hanya bisa bergumam, "Sebenarnya aku ini siapa? Mengapa aku dibedakan? Lihat saja Kak Kayla, ia selalu mendapat perhatian lebih dari ibu. Ibu selalu bersikap lembut padanya, membanggakan apa yang ada di diri Kak Kayla. Padahal jika di fikir-fikir, aku ini lebih dari Kak Kayla.

" Tiiiit... Tiiiittttt"Suara klakson mobil itu mengagetkanku. Aku langsung memberhentikan sepeda yang ku kayuh. Nampaknya aku salah tempat untuk melamun. Bel sekolah berbunyi tepat saat aku memasuki gerbang sekolah. Pemandangan yang selalu membuatku iri, yakni puluhan anak yang memiliki nasib lebih sempurna dibandingkanku. Mereka diantar orang tuanya ke sekolah, diberi uang saku, disiapkan bekalnya dan dikecup keningnya serta dibisikan harapan-harapan tulus orang tuanya. Dengan harapan buah hatinya kelak menjadi orang yang berguna.

Langsung saja kukayuh sepedaku menuju parkiran sekolah, tempatnya berada di ujung timur sekolah ini. Dan ku bergegas masuk kedalam kelas. Mengikuti pelajaran sebagaimana mestinya.
"Anak-anak, sepulang sekolah nanti kalian semua tinggal di kelas ini sebentar ya. Ibu akan mengadakan ulangan harian sebagai ganti diundurnya ulangan minggu lalu. Ibu harap kalian semua bisa mengikuti dan tidak ada yang izin pulang".Semua menjawab "siap bu". Namun hatiku benar-benar gelisah, bukan karena takut ulangan harian itu. Tapi aku takut ibu akan memarahiku saat pulang nanti. Apalagi ibu tadi sudah memberi pesan padaku dengan wajah yang judes.

Saat ibu guru keluar dari kelas, aku bergegas mengejarnya. "Bu guru..""Iya Tasya, ada apa?""Nanti ulangannya kira-kira sampai jam berapa ya bu? Soalnya saya ada janji dengan ibu saya"."Sebentar kok sya, jam 3 sore kalian udah pulang.""O yaudah bu, terimakasih".Aku menarik nafas lega, karena ulangannya hanya satu jam. Sampai di rumah nanti aku akan bilang jika tadi ada ulangan mendadak. Jadi ibu tidak akan memarahiku."Baik anak-anak, ibu harap nilai kalian memuaskan. Dan dapat mencapai hasil sempurna. Terimakasih, silahkan menuju rumahnya masing-masing."Aku segera berlari menuju parkir di ujung timur, dengan tergopoh-gopoh ku kayuh sepeda tua ku dengan laju cepat. Aku takut jika ibu memarahiku. "Assalamualaikum bu, Tasya pulang."

Baru saja aku hendak melangkahkan kakiku masuk ke dalam rumah, tiba-tiba ku dengar barang yang terjatuh, nampaknya barang tersebut berada di dapur dan suara tersebut sengaja di buat. Wajahku mendadak pucat dan tanganku yang tadinya bersuhu normal menjadi dingin. Ibu murka.
"Ibu?". Hanya sepatah kata yang mampu ku ucap, dengan posisi membelakangiku kulihat ibu sedang geram dan membalikkan badan. "Kamu ini darimana saja, sudah ibu bilang. Pulang sekolah itu langsung ke rumah. Gausah mampir-mampir. Kemana saja kamu keluyuran? Sengaja ya, mau lepas tanggung jawab. Jadi anak itu tau diri dong, ibu itu sudah membesarkan kamu dari kecil. Kenapa kamu gak nurut sama ibu?".

Aaa..aku". Udah, gausah aku akuan, kamu ini kalau dinasehati bantah mulu. Lihat dong kakak kamu, dia itu udah cantik, pintar, pandai bergaul pula. Lah kamu apa? Anak nggak tau di untung."
Tamparan keras yang menusuk relung kalbuku. Bukan sakit fisik, tapi batinku yang terkoyak. Buliran air mata kembali memenuhi wajah mungilku. Aku bergegas melangkah ke kamar dan menghempaskan tubuhku di kasur. Sambil menatap langit-langit kamar, ku pandang dinding. Disana ada foto kecilku bersama ibu, ibu tampak tertawa bahagia menggendongku. Lalu dimana ibu yang ada di foto itu? Cukupkah waktu sesingkat umurku ini untuk mengubah sikap lembut ibu menjadi ganas seperti sekarang? Apakah aku tak diharapkan? Ataukah aku dilahirkan merupakan satu kesalahan?

Ku rasa, sebesar apapun kesalahan yang diperbuat oleh Kak Kayla merupakan kesalahan yang kecil di mata ibu. Kak Kayla tetap menjadi anak tersayang ibu, meskipun aku adalah adiknya, dan Kak Kayla adalah kakaknya. Kebanyakan orang tua pasti akan lebih bersikap lembut terhadap adiknya. Karena dirasa, kakaknya sudah cukup mandiri. Namun, tidak dengan kehidupanku. Aku merasa akulah yang terlalu banyak mengalah. Mengorbankan ceriaku hanya demi kebahagiaan kakakku.
Tak apa bu, semarah dan segarang apapun ibu kepadaku, ku yakin ibu punya cara lain untuk mendidikku. Ibu menyayangiku dengan cara lainnya, agar aku kuat dan tumbuh menjadi gadis yang punya pemikiran dewasa. Ibu sayang aku, bukankah begitu ibu?

DISTORSI CINTA DIBALIK SENJA


Langit senja masih mengukirkan sejuta kenangan yang telah meraup sebagian dari umurku. Kini tinggal sisa dari yang ada yang masih bisa kuselami untuk menunggumu disini. Namun kau tak kunjung datang. Pada setapak batu ini kulukiskan namamu dengan cat merah bata sembari menunggumu dalam kutipan kursi panjang itu. Aku tak dapat menjauh dari kursi itu, aku hanya mampu meraih batu besar yang tepat berada didepanku. Aku selalu berharap akan kedatanganmu.
Lukisan merah bata di arah bergulirnya sang mentari itu sedikit demi sedikit mulai terkikis, hari pun berangsur angsur meratap kearahku dengan kegelapan, pertanda malam akan segera dimulai. Hanya aku dan lukisan merah bata pada batu besar itu yang tersisa.

Aku tak kuasa menahannya, kukira penantian ini akan membuahkan hasil, namun kedatanganmu tidaklah pasti. Entah kapan aku akan beranjak dari tempat ini, bahkan aku tak membawa sesuatu pun yang dapat membantuku keluar dari kegelapan ini. Hanya sinar rembulan yang menyejukkanku, dan bintang-bintang yang membawa keramaian malamku. Waktu terus berjalan, hingga tak kusadari jarum jam pada jam tanganku telah menunjukkan pukul 9 malam. Akhirnya dengan berat hati kuputuskan untuk meninggalkan tempat itu.  Tempat dimana cinta datang untuk memasuki pada suatu ruang, yang tiap orang tak dapat memasukinya, karena hanya orang-orang tertentu yang dapat menjadi bagian dari apa yang spesial dalam diri kita, yaitu hati.

Tempat dimana perasaan kita saling beradu dan menjadi satu membentuk sebuah cinta.
Setapak demi setapak kususuri jalan sempit itu, menuju pada gang sempit yang mengarah pada sebuah rumah megah yang berada pada ujung jalan itu. Tepatnya di gang muayyad nomor 24, kota Surabaya. Segera kulangkahkan kakiku memasuki rumah itu, kubuka pintu kamarku yang penuh dengan tempelan stiker yang bertuliskan kata kata cinta dan motivasi itu. Aku merasa lemas tak berdaya, hingga kubaringkan tubuh ini pada kasur empuk yang telah manyapa kedatanganku.
Cinta dimanakah akan kutemukan sosok dirimu? Kucari-cari semua tentang bayangmu, kubuka tirai putih yang ada didepanku, berharap kau berada disana, hembusan angin itu terus mambawaku pada sebuah langkah yang mengarahkanku pada suatu tempat yang keindahannya tak pernah kudapati sebelumya.

Setiap langkahku hanya tertuju padamu, hingga akhirnya kutemukan suatu lembah yang begitu subur. Terdapat ratusan tanaman yang berbeda-beda dan tak aku kenali. Dari ratusan tanaman itu hanya satu bunga yang aku tahu namanya. Yaitu mawar hitam. Kulihat disana terdapat suatu aliran sungai yang begitu jernih, warnanya biru menggoda, nampaknya aliran tersebut tak pernah dihinggapi oleh seorang pun. Terlihat di seberang sungai itu suatu bayangan yang yang secara pelan menghampiriku. Ku amati secara pasti. Nampaknya aku telah mengenal sosok itu. Kulihat dengan pasti, kuusapkan tanganku pada kelopak mataku, memastikan apa yang aku lihat. Ternyata benar itu Raffi. Lelaki yang selama ini selalu aku tunggu kedatangannya. Dan akhirnya kini Tuhan telah menunjukkanku padanya.

 Tak lama dari semua itu, suara berisik tiba-tiba mengguncangkan telingaku, entah dari mana asalnya. Suara itu terdengar seperti dari dunia luar yang secara spontan menggetarkan telingaku, memaksaku untuk bangun dan kembali membuka mataku, kulihat ternyata sumber kebisingan itu dari alarm ponsel yang kutempatkan tidak jauh dari tempat berbaringku. Segera aku duduk, sembari memeluk bantal merah muda bermotifkan bunga yang telah menemani tidurku. Namun air mataku telah jatuh tanpa aku memintanya, membuatku semakin memeluk erat bantal itu, namun pelukan itu semakin mengingatkanku bahwa Raffi telah tiada. Semua itu hanya mimpi dan hanya mimpi yang mencoba mengusik kehidupanku. Membuatku berfikir keras, kenapa aku tidak larut dalam mimpi itu, meraih tangan Raffi dan menyeberangi sungai yang membentang itu. Sungai yang memisahkan keberadaanku dengan keberadaanya. Namun Tuhan berkehendak lain. Tuhan selalu membawaku pada dunia, dunia yang harusnya aku jalani layaknya mereka yang ada di luar sana.

“Tari...kemari sayang!”, teriakan mama yang mungkin saja mengajakku untuk sarapan. Namun dugaanku salah. Kuhampiri mama yang ternyata tengah berada di ruang tamu bersama seorang lelaki muda berkemeja biru yang tak aku kenali. Namun tetap kulangkahkan kakiku menuju hadapan mama tanpa rasa malu, “ada apa ma?” tanyaku padanya dengan wajah kusam dan pakaian tidur yang lusuh. “kenalin sayang, ini Hamdan. Dia lulusan psikologi, mama harap kamu bisa belajar padanya, dia juga pandai dalam pengatasan masalah seperti yang sekarang kamu alami loh..., mama ingin kamu bisa ceria kaya dulu lagi” ucap mama meyakinkanku.Aku hanya mengangguk, mencoba menuruti perkataan mama, seolah aku telah yakin pada mama meskipun hatiku berkata sebaliknya.

Hanya terbersit satu pemikiran positif yang mungkin saja membenarkan perkataan mama dibenakku yang menekanku untuk mengatakan “iya”. Yang pada akhirnya keterpaksaanku itu telah membukakanku pada jalan baru, di mana pada jalan itu telah mendekatkanku pada Hamdan, dan  lambat laun kami bereman, layaknya teman akrab.Hari telah menjelang sore, mentari telah menyingsing pada bagian barat.  Aku hanya bisa tersenyum, di balik selambu yang menutupi cendela kamarku, hanya sedikit celah yang terbuka dengan bantuan tanganku. Kusaksikan senja itu.  Melepas duka yang telah lalu. Tepat dimana setahun yang lalu, pada sebuah kecelakaan pesawat yang telah membawa Raffi pada alam yang berbeda, memisahkan rasa cinta yang seharusnya kini menjadi memori yang masih berjalan, layaknya suami istri. Ku coba untuk tetap tersenyum meski hatiku menangis.

Kurasakan tepukan tangan pada bahuku yang sempat membuatku tersenyum. Berlahan kutengokkan kepalaku pada arah dimana tepukan itu datang. Kukira Raffi yang telah hadir kembali untukku. Tetapi pradugaku salah, mana mungkin orang yang tlah tiada dapat memunculkan kembali wajahnya di depanku. Ternyata mama yang datang menghampiriku, berusaha untuk menghiburku, dia bawakan secangkir susu rasa coklat kesukaanku yang masih erat pada jemarinya yang mulai berkeriput itu. “eh mama..” Sapa hangatku dengan mengusap air mata yang hendak menetes itu secara perlahan.  “Ini sayang, mama bawakan susu hangat untukmu. Ayok duduk dulu!” ajak mama yang sedikit menenangkan. Kuberjalan mengikuti mama dan duduk berhadapan dengannya. Kita perbincangkan berbagai macam sesuatu secara hangat. Dengan senyuman kujalani semua itu, karena aku yakin dapat melupakan semua rasa kelam yang masih mendesak ini.

Hari telah kembali menampakkan cerahnya. Pagi ini aku mendapat janji dengan Hamdan. Ia hendak mengantarkanku berangkat ke kampus. Sebenarnya aku tidak telalu setuju dengan janji itu, meski aku telah berteman dengannya. Namun, aku hanya berusaha menghormati mama dengan menuruti permintaannya. Tepat jam 8 Hamdan tiba di rumahku. Ia telah berpenampilan rapi layaknya pegawai kantoran. Yah memang benar adanya. Ia bekerja di salah satu perusahaan yang aku sendiri juga lupa apa nama perusahaan itu. Walaupun sedikit melenceng dengan jurusan yang ia ambil saat kuliah tapi ia tetap dapat terampil dalam pekerjaannya. Bahkan aku mendengarkan kabar bahwa Ia digelari sebagai karyawan terbaik tahun ini.

Entah apa alasan mama memintaku untuk dekat dengannya. Walau terbersit di hatiku ada sesuatu yang janggal seolah memaksaku untuk berfikir lebih dalam. Mencoba menganalisa apa yang dimaksudkan mama dari semuanya ini. Meski aku tak yakin akan kebenaran dari firasatku ini.Berusaha mendekatkanku dengan Hamdan, agar aku melupakan masa laluku dengan Raffi. Mungkin itu yang mama mau. Bagaimana mungkin tebakku bisa salah, nampak jelas dari tingkah mama yang seolah selalu menjodoh-jodohkan aku dengan Hamdan. Tetapi memang benar layaknya apa yang aku rasakan sekarang. Jalanku terasa begitu Naif ketika menuruti apa kata mama. Aku hanya menjalaninya, namun hatiku tak ikut berjalan bersamaku. Bagaimana pertemanan ini akan berjalan indah bila aku tak dapat menerima Hamdan dengan baik dihatiku. Hanya itu yang menjadi bahan berfikirku saat ini.

Sore ini aku akan keluar bersama Hamdan. Aku hendak mengajak Hamdan pada suatu tempat yang begitu bersejarah bagiku. Tempat dimana aku dan Raffi bersenda gurau, saling mengisahkan kisah lucu kita pada masa lalu. Alasanku hanya ingin menceritakan semua kenanganku bersama Raffi kepada Hamdan. Fikirku Hamdan akan menghindar dariku setelah semua cerita itu didengar olehnya. Dan Ia akan menjauh dariku untuk waktu yang lama sehingga Ia dapat menerimaku sebagai teman layaknya sekarang ini. Akhirnya aku dan Hamdan duduk pada sebuah kursi yang telah tersedia di situ. Karena memang hanya kursi itu yang tersedia. Kursi yang telah lama menungguku dan Raffi. Namun kali ini kursi itu tak lagi menerima orang yang sama. Kami pun duduk berdua di kursi itu. Kuceritakan apa yang telah kutata sebelumya.

Kutunjukkan ekspresiku yang penuh dengan hati dan perasaan, seolah kejadian itu sedang aku alami. Dan pada akhirnya Hamdan menanggapiku akan semua kisah yang telah aku dongengkan padanya.“Ada satu hal di dunia ini yang terlalu berharga untuk kamu sia-siakan. Untuk apa kamu berlarut-larut dalam lukamu ini. Padahal ada banyak hal di dunia ini yang begitu berharga untuk kamu lewatkan. Cobalah kamu ihat pada berbagai belahan dari dunia ini, bukankah kamu hanya dapat  menikmati sebatas jarak pandangmu? Makanya itu, kamu harus melihat pada sisi-sisi dari dunia ini yang belum terjangkau dari jarak pandangmu.

Lukislah hidupmu dengan berbagai warna. Karena hidupmu tidaklah berharga dengan hanya berdiam meratapi kesedihanmu saat ini.”Tegasnya padaku. Ia sampaikan kata-kata itu dengan tenang dan penuh kepercayaan. Meyakinkanku dengan curahan geriknya yang lantang itu. Aku pun tak menyangka Ia akan meresponku dengan begitu simpati.Jawaban yang membuatku terkesan padanya. Tidak hanya pada jawabannya, namun juga pada orangnya. Pada sosok Hamdan yang selama ini aku abaikan segala hal  tentangnya. Namun hari ini Ia menghiburku dengan segala curahan hatinya. Ia tujukan semua kepeduliannya padaku. Pada orang yang begitu lemah ini.

Senja mulai datang. Bersama barisan jingga yang tak pernah lupa Ia bawa. Kecuali pada hujan yang menutupi jingga. Sembari menatap ke arah dimana sang mentari akan kembali. Kusandarkan kepalaku pada bahu Hamdan. Menikmati senja sore itu. Entah kenapa, senja di sore ini berbeda dengan biasanya. Cahaya sang mentari yang hendak kembali keberabannya terus berusaha menerobos, dan mencari celah-celah dimana ia dapat menampakkan sinarnya pada dunia. Namun awan itu sedikit demi sedikit berubah menjadi mendung yang tak begitu pekat.  Dan kulihat rintikan air mulai berjatuhan. Rintikan yang kecil, dengan angin yang sepoi membasahiku dan Hamdan yang tengah menyaksikan senja itu.

Hamdan beranjak dari kursi itu, ia carikan selembar daun pisang untuk berteduh. Ia hampiri aku dengan genggaman erat daun pisang yang tak ada kesobekan sedikit pun pada hijaunya. Ia tutupkan daun pisang itu padaku. Masih pada tempat itu untuk menyaksikan senja bersama gerimis yang membawa nuansa romatis. Tak lama dari itu terlihat suatu bayang pesawat yang menghampiri kursi yang kami duduki. Aku mulai merasa ketakutan. Bayangan itu seolah terus menghampiri. Perasaanku tak karuan, kutunjukkan rasa takutku. Kututupkan wajahku pada lengan hamdan, mencari perlindungan pada sosok yang gagah itu. Namun bayangan itu tak mau mengalah dariku. Ia terus mendekat kepadaku. “Hamdan lindungilah aku!” Pintaku pada Hamdan. Hamdan hanya terdiam dan membelai rambutku. mencoba memberikan ketenangan padaku.

Bayangan itu hilang tiba-tiba setelah aku mengedipkan mataku. Ternyata itu hanya ilusi semata. Aku tak mengerti apa maksud dari bayangan pesawat itu. Aku pun mulai berfikiran negatif. Mungkinkah Raffi tak menyukai keberadaanku bersama Hamdan? Namun hamdan selalu mencegahku. Ia tenangkan aku layaknya seorang hipnotis yang mampu meluluhkan seseorang dengan kata-katanya.
“Jangan berfikir yang macam-macam mengenai bayangan pesawat tadi. Dia hanya mimpi buruk yang berusaha merusak masa depanmu!” ucap Hamdan padaku.Mungkin memang benar apa yang dikatakan oleh Hamdan. Aku harus memulai hidupku yang baru. Melupakan Raffi, dan membangun masa depanku yang lebih berharga.

Sebulan telah berlalu. Kejadian senja sore itu telah membawaku pada perubahan yang besar dalam hidupku. Akhirnya apa yang kufikirkan tentang mama memang benar adanya. Mama telah lama merencanakan ini sebelumnya. Ia telah menjodohkanku pada Hamdan. Dan mama mengenal Hamdan pun telah lama. Mama mengenalnya saat perjalannya dari Singapur ke Indonesia, pada salah satu pesawat yang mama tumpangi. Di situlah awal mama bertemu dengan Hamdan. Yang akhirnya kini melibatkan Hamdan pada kehidupanku. Dari situlah kini aku mendapatkan kehidupanku kembali. Dan kini mulai kurajut hidupku kembali bersama Hamdan. Kulukiskan kembali di bawah senja pada sebuah batu yang dulunya tertulis nama Raffi dan kini kurubah nama itu, kulukiskan pada batu itu nama Hamdan.

Nadia anak yang manja


Derap langkah kakiku semakin cepat, seiring dengan kekhawatiranku padamu. Berita yang luput, menjadi rutukan untukku. Kemana saja diriku sampai hal yang penting seperti ini aku harus menjadi orang yang sekian kalinya mendengarnya. Aku tak begitu peduli jika saat ini masih jam pelajaran. Suasana yang harusnya tenang menjadi sedikit gaduh karena langkah sepatuku berlari menyusuri 2 lantai dan 8 ruang kelas yang sedang belajar. Aku hanya ingin segera sampai di kantor guru, memastikan berita yang baru saja kudapatkan.setelah ini, aku akan meminta maaf kepada guru yang sedang mengajar.

Aku janji. Ah, syukurlah. Aku sudah dapat melihat kantor guru yang tak jauh lagi depanku. Begitu sampai di depan pintu, aku segera berhenti dan sedikit meredakan detak jantungku yang berdentum cepat karena tiba-tiba kupaksakan untuk lari. Nalarku masih berjalan untuk berlaku sopan santun untuk menemui sosok-sosok orang tua di sekolah ini.“Assalamualaikum. Permisi, saya mencari Bu Herna” Aku mengetuk pintu ruang guru dan langsung menanyakan guru yang menjabat wakil kesiswaan tersebut kepada guru-guru yang ada di dalam ruangan. Mataku mengedar mencari Beliau, hasilnya nihil. Bu Herna tidak ada di ruangan.

Bu Herna sedang keluar tadi, nak. Ada urusan apa dengan Bu Herna? Kau meninggalkan pelajaranmu??” Seorang guru mendekatiku, mencoba menginterogasiku.“ Maaf Pak, saya sudah izin tadi dengan Bu Yuni, wali kelas saya. Saya ingin menanyakan sesuatu yang penting dengan Bu Herna,” jawabku kepada guru olahraga tersebut, Pak Arif namanya.Apa yang penting tersebut?” kembali Pak Arif menanyaiku dengan sedikit penekanan. Aku menggigit bibir bawahku, mencoba menahan rasa gugupku berhadapan dengan Pak Arif yang merupakan guru kedua yang masuk daftar ‘Guru yang lebih baik dihindari’ setelah Kepala Sekolahku sendiri.

Saya ingin menanyakan berita kepindahan teman saya, Pak.” Jawabku.“Siapa?” belum sempat ku menjawabnya lagi, sebuah tangan hangat merangkul bahu kiriku. Aku menoleh, dan ku dapati seseorang yang sedang kucari. Betapa leganya diriku.“Bu Herna” “Tiara, sudah lama disini?” tanya Bu Herna kepadaku.Sudah lama? Apa sebelumnya Bu Herna sudah tahu bahwa aku akan kemari. “Tidak Bu,” jawabku.“Bu Herna, saya ingin menanyakan tentang…”Ayo kita bicarakan di ruang sebelah!” dengan cepat Bu Herna memotong perkataanku. Beliau bergerak pergi ke ruangan di sebelah yaitu ruangan BP.

Aku segera mengikutinya. Sempat kulihat Pak Arif yang memerhatikan diriku, aku hanya bisa menunduk tak berani bertatap muka dengan beliau.Aku perlahan duduk mengikuti Bu Herna yang telah duduk di kursi panjang di ruangan ini. Aku duduk berhadapan dengan beliau. Bu Herna membuka tasnya dan mengeluarkan beberapa kertas juga amplop kecil. Bukan amplop putih panjang yang sering digunakan oleh sekolah namun amplop ini kecil bewarna biru.“Ibu tahu kedatanganmu kemari ingin menanyakan tentang Nadia,” ucap Bu Herna kepadaku. Beliau memberikan senyum padaku.

“Iya Bu. Ini tentang Nadia. Bisakah Ibu memberi tahu saya bahwa Nadia tidak masuk dua hari ini bukan karena ingin pindah sekolah???” tanyaku langsung tanpa berbasa-basi lagi.“Nadia tidak masuk dua hari lalu karena memang sedang ada urusan keluarga. Dan maafkan Ibu, Tiara. Ibu tidak bisa mengatakan hal yang ingin Tiara dengar. Berita yang Tiara dengar adalah benar. Nadia pindah sekolah, dari hari ini.” Bu Herna mengatakan semua itu dengan hati-hati.Aku terkejut. Meskipun aku sudah punya firasat bahwa hal ini akan terjadi, tetap saja bagiku ini susah untuk kuterima.

Nadia benar-benar pindah, tanpa memberitahuku lebih dahulu. Aku benar-benar kecewa. Mataku mulai memanas, rinai air mata telah mengumpul di sudut mataku. “Kenapa Ibu tidak memberitahuku sebelumnya Bu? Ibu tahu kalau aku bersahabat baik dengan Nadia,” tanyaku.“Ibu sudah berjanji pada Nadia, Ti. Ibu juga terkejut mendengar Nadia mengungkapkan akan pindah sekolah ke luar negeri. Ibu langsung teringat padamu. Namun saat itu, Nadia menghampiri Ibu dengan berurai airmata dan bilang bahwa dia tidak bisa pergi meninggalkanmu. Apa daya bahwa kepindahannya adalah keputusan dari keluarganya.”“Tapi bagaimana bisa Nadia pergi tanpa pamitan padaku Bu??”

Airmataku turun membasahi pipiku ketika ku selesai membaca surat Nadia. Hatiku benar-benar sedih kehilangan sosok sahabatku itu. Aku terisak. Kupeluk erat surat itu. Tanpa kusadari Bu Herna telah ada disampingku yang kemudian memelukku erat. Beliau mengelus-elus punggungku mencoba menenangkanku. Namun tangisku makin menjadi. Hanya tangis tanpa kata apapun. Karena tidak ada kata yang mampu kuucapkan lagi. Bagiku sudah cukup aku menahan Nadia. Aku harus biarkan sahabatku pergi membentuk sayapnya sendiri untuk dapat terbang meraih mimpi-mimpinya.
Bu Herna semakin erat memelukku, memberiku titik-titik semangat untuk bangkit dan ikhlas menerima semua ini. Dan entah berapa lama aku menangis di pelukan guruku itu.

Hujan di luar seakan tahu apa yang kurasakan saat ini. Tidak, bukan karena hujan. Tapi karena Allah yang selalu tahu apa yang sebenarnya Hamba-Nya rasakan. “Aku memang tak bisa menyembunyikannya,” lirihku perlahan. Ku mantapkan hatiku. Menutup mataku sebentar, diiringi bunyi tetesan hujan yang menjadi melodi tersendiri yang bisa menguatkanku. Sekarang aku disini sendirian. Tanpa dirimu. Segala bantuanmu, segala dorongan semangatmu, dan senyum ceriamu yang menghiasi hariku sehingga begitu bewarna. Kau sahabatku, yang sekarang sudah jauh disana yang entah kapan kita bisa dapat berjumpa kembali.

Kau yang selalu membuatku kuat menghadapi segala lika-liku perjalanan hidup kita. Kata-kata semangatmu yang begitu merasuk di dalam lubuk hatiku, yang akan terus kusimpan sampai kapanpun. Sebagai semangatku, menggantikan dirimu.Aku tak tahu, bisakah aku mengikuti laju perputaran waktu yang semakin cepat, tak mungkin bisa berhenti apalagi kembali ke belakang. Berharap aku bukan menjadi bagian yang di belakang, yang tertinggal. Namun jika itu terjadi, maukah kau menarikku untuk terus maju dan tak pernah berhenti seperti apa yang selalu kau katakan kepadaku. Tak ada yang bisa menghentikan langkah kita untuk terus bergerak maju selain diri kita sendiri dan Allah, Pemegang Segala Nyawa di dunia yang fana ini.

Kulepaskan dirimu seperti keinginanmu. Kau yang mencari cahayamu sendiri, di dalam bagian dunia yang mungkin aku pun tidak sanggup memasukinya. Tetapi aku yakin, kau bisa. Aku percaya kemampuanmu, segala kekuatanmu yang selalu kulihat selama aku disampingmu dahulu. Kau yang tak gentar menghadapi terjangan ombak yang kecil maupun yang besar sekalipun. Kau bagai batu karang yang kokoh dan tak tergoyahkan. Kau yang akan selalu jadi inspirasiku. Kau yang akan selalu menjadi sahabatku. Sahabatku yang berharga yang tak akan kulupakan seumur hidupku.

Nadia, aku juga akan berjanji pada diriku sendiri. Meskipun aku jatuh berkali-kali, aku akan tetap bangkit. Aku akan mengejar mimpiku. Dan ketika kita masing-masing telah sama-sama meraihnya, akan ada masa kita dapat bertemu kembali. Tersenyum bangga dan bahagia. Ku hapus semua airmataku. Tetaplah sehat disana sahabatku. Satu hal yang harus kau ketahui bahwa aku mendukungmu dalam keadaan apapun. Karena kau adalah sahabat terbaikku. Aku menyayangimu, Nadia… . 

Cerita anak sekolahan


Suatu di pagi hari terdengar suara klakson roda dua dan roda empat yang berlalu lalang di perkotaan , kota ini disebut dengan kota metropilitan. Sebut saja Ria namanya murid Sekolah Menengah Atas yang memilki cita-cita seorang penulis artikel,ria ini memiliki segudang ide untuk dicurahkan kepada teman sekelasnya dan akan di berikan sebagai tanda ucapan hadiah ulang tahun sahabatnya bernama wila di bulan Februari yang katanya adalah bulan kasih sayang bukan hanya untuk yang sudah memiliki pacar atau menikah tetapi teman sekelas yang selalu ada disaat ria membutuhkan.

Hal ini yang membuat ria ceria dipagi hari, sambil berjalan menyusuri trotoar jalan raya yang hendak ria lalui dan sambil bernyanyi du..du..du..la..la.. detik detik suara ini sering mengingatkan ria tentang suara ketukan piano ketika wila memainkannya, mengelengkan kepala sambil mengumamkan suara dipikirannya, hanya tinggal 5 menit dari jarak rumah ke SMA Harapan Mulia, ria pun langsung berlari karena lapangan sudah dipenuhi oleh siswa untuk acara bendera di pagi hari pukul tujuh pagi. hari yang cerah ini ria akan mulai seperti biasanya berdiri paling depan untuk memimpin teman temannya, disamping barisan kanan terdapat wila sahabat yang selalu heboh dan sikap yang cerewet membuat suara dl Lapangan terkesan hadir di panggung hiburan.

Dimulai dengan bicara serius tentang pembicaran tentang teman aryati diakui oleh semua guru siswa yang teladan dan tepat waku dalam mengerjakan tugas serta paling depan ketika duduk dibangku kelas, ini menjadikan bahan topik utama bagi wila dan ria hanya mendengarkan serta memberikan kritikan kepada cerita wila yang menambah-nambahkan cerita gosip tentang aryati.sudah hampir setahun aryati menjadi pokok bahasan setiap hari oleh wila, dan cerita itu tidak sengaja didengar oleh aryati, tanpa berpikiran panjang aryati langsung memotong pembicaraan yang ada antara ria dan wila berkata “kalian tidak pernah bosan ya berbicara tentang saya” bermuka sini dan berbicara lantang
Ria pun membalas tanpa basa basi “ini memang sudah takdirnya kamu jadi bahan pembicaraan kami” sambil tertawa kecil.

Aryati pun berkata “teruskan saja cerita fiksi kalian berdua, tambah dosa juga kalian yang menanggung kan bukan saya” langsung menghidari ria dan wila, tanpa disadari bahwa Anton mendengarkan pembicaraan ria dan wila “benar-benar kalian teman apa teman berbicara tanpa berdasarkan fakta” wila langsung berkata “ terserah kami!! memang kami suka kalau berbicara daripada hanya membaca buku tanpa mempelajarinya”,Anton langsung berkata “memang kamu tau kalau membaca tidak mempelajari itu bagaimana!! Jangan asal berbicara kalau tidak ada bukti yang objektif”.

Wila pun menanggapi marah dari Anton sahutnya “ iya saya tau kamu membaca sambil mempelajarinya, mengaku saja jika memang kamu menyukai aryati!! anak yang rajin dan pandai di kelas kita” bermuka sinis, langsung pergi menghindari Anton, Anton pun mulai berfikir tentang perkataan dari wila sambil berjalan dan berkata dalam hati “memang benar aku membela aryati bukan berarti aku suka sama aryati jika memang aku suka padanya, pasti sudah aku katakan dari dulunya” dan tidak sengaja menabrak aryati yang membawa buku dari perpustakaan, dan terjadi pembicaraan anak anak kelas lainnya, gurau an salah satu teman sekelasnya “bantuin tuh aryati murid yang kamu sukai dari dulu,dibelain aja dari dulu sampai temen temen sekelas aja pada berprasangka buruk sama kamu!!.

Tanpa berfikir panjang Anton langsung membalas perkataan salah satu teman sekelasnya “ha..ha.ha... kamu bercanda , sejak kapan aku menyukai aryati , memang aku sering membela nya didepan guru dan kalian semua tp perasaanku tidak ada sama sekali untuknya!! Kamu pahami itu!! Langsung pergi tanpa membatu aryati dan buku buku yang jatuh di lantai atas perbuatan Anton, dalam hati aryati hanya menghela nafas dan bergegas mengambil buku yang berserakan tanpa ada bantuin dari teman teman sekelasnya, tiba tiba wila menghampiri aryati dan membantu mengambil buku buku yang terjatuh di lantai dan berkata “kok bisa jatuh bukunya ar? Memangnya kamu belum makan dari pagi ya? Apa kamu sakit ?” sahut aryati “tidak.. ini karena tabrakan dengan Anton.

Wila langsung berkata “jadi karena anton! Buku-buku ini berjatuhan dilantai.. kok kamu gak bilang sama dia untuk bantuin buku buku ini?” sahut aryati “ buat apa aku minta tolong dia, kalau dia saja tidak mau langsung membantuku.. buang tenaga berbica saja” langsung pergi menghindari wila dan berkata “terima kasih wil, atas bantuan mu ini, walaupun kamu sering kasar berbicara tapi hatimu baik juga ternyata” (sambil tertawa)

Di Sudut Kota Ini


Gerimis mulai membasahi jalan yang bisu dan sunyi. Kini frekuensi rintikannya semakin cepat membuat seorang gadis mempercepat jalannya supaya tubuhnya tidak basah oleh rintikan gerimis yang mulai deras. Sampailah dia di sebuah rumah minimalis dengan cat di dominasi biru dan putih. Rumah yang tidak begitu besar namun rapi, tidak juga mewah namun terasa indah ketika melihatnya. Gadis tersebut melepas jaketnya dan mulai masuk ke dalam rumahnya.Selamat sore, bu” ucap gadis tersebut sambil masuk ke dalam rumah.“Iya, nak. Masuk dulu, ibu lagi nanggung masak nih.

Memasak makanan favoritmu ini.”“Ibu harus banyak istirahat, jangan terlalu capai, nanti asmanya bisa kambuh.”“Tidak apa-apa, nak. Bagaimana pekerjaanmu, lancar kan?”“Iya bu, sebentar lagi Inke naik jabatan. Terima kasih atas doa ibu buat Inke selama ini.”“Sama-sama, nak. Ibu bangga sama kamu, sayang. Yuk makan dulu, nanti keburu dingin!.”Gadis itu bernama Inke Pelita Sari. Orang tuanya memberikan nama tersebut supaya nantinya dia bisa menjadi pelita yang artinya penerang bagi keluarga dan juga kedua orang tuanya.Sayangnya hanya tinggal ibu saja yang bersamanya kini sedangkan sang ayah pergi tak tahu kemana rimbanya.

Terakhir kali Inke melihat wajah sang ayah ketika duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama, saat itu ia pamit mau mencari pekerjaan yang lebih mapan di kota seberang, namun nyatanya sampai kini tak tampak batang hidungnya. Hanya tinggal Inke dan sang ibu yang tinggal di rumah minimalis itu. Mereka berdua pun lahap memakan menu sederhana yang tersaji di atas meja. Nasi goreng dengan petai goreng habis tanpa sisa dimakan oleh mereka berdua. Tidak lupa mereka mengucapkan syukur atas rahmat Tuhan yang diberikan hari ini atas kesehatan, oksigen gratis, dan tentunya kebersamaan yang masih ada sampai saat ini.“Ke, kamu tadi dipanggil sama Danu. Di tunggu tuh di parkiran, ada yang penting katanya. Sana gih ke sana, keburu pergi orangnya.”

“Memang Danu mau ngomong apa?” tanya Inke heran. Pasalnya selama ini Danu tidak pernah berbicara dua mata dengannya. Selalu saja mereka ngobrol saat bersama dengan teman kantor yang lainnya.“Ya mana aku tahu, Ke. Kalau aku tahu pasti sudah aku bilangin sama kamu. Sudah sana daripada penasaran. Keburu jam istirahat habis.”Inke mengangguk mengiyakan. Dia pun menyusul Danu ke parkiran yang dimaksudkan Tanti teman dekatnya itu. Inke celingak-celinguk mencari sosok Danu, di setiap sudut parkiran kosong tak ada siapa pun. Apa Tanti membohonginya? tapi itu tidak mungkin Tanti orang yang baik. Selama ini dia tidak pernah mengecewakannya.“Sssstt....... Ke, sini!,” bisik seseorang.

Inke mengedarkan pandangan ke seluruh sudut, mencari sumber suara. Sampai akhirnya dia menemukan Danu tampak sembunyi di balik tembok. Inke pun menghampiri Danu.“Ada apa? mengapa kamu nyuruh aku ke sini?,” tanya Inke.“Inke, aku rasa sudah saatnya bilang ini ke kamu,” ucap Danu sambil menatap tajam Inke.“Ada apa to, Nu. Kita kan bisa berbicara enggak di sini. Disangka maling kita, Nu.”“Aku terpaksa Ke, aku cuma mau ngomong. Mau enggak ke kamu jadi istri aku? jadi ibu dari anak-anak aku?,” tanya Danu serius.Inke melongo, enggak nyangka Danu akan sejujur ini. Danu cowok cerdas berkulit putih, tinggi, berkumis tipis akan mengatakan hal itu kepadanya. Enggak nyangka Danu akan jatuh cinta kepada seorang Inke yang hanya tamatan SMA.“Kaget ya?,” tanya Danu polos.“Ya iyalah Nu, habis makan apa kamu kok ngomong gitu?”

“Tadi habis makan tumis isi kedondong,” seloroh Danu mencairkan suasana.Inke terkekeh. “Tapi.... maaf Nu.”Danu menggelengkan kepala. “Enggak perlu jawab sekarang, Ke. Aku tahu kamu enggak mau pacaran kan? aku serius Ke, cuma kamu yang ada di hati aku sekarang. Tolong kenal aku lebih dekat. Jika memang aku enggak pantas buat kamu, ikhlas aku lepasin kamu.”“Kamu enggak ngerti keluargaku, Nu.”“Aku ngerti.....ngerti banget ke. Kamu cuma tinggal sama ibumu to? kita bisa tinggal bertiga nanti.”“Dari mana kamu tahu?,” tanya Inke dengan mata mulai berkaca-kaca.“Enggak perlu malu, enggak perlu nutupin itu. Aku mau kamu aman sama aku, kamu jagain ibumu, aku jagain kamu.”
Tangis Inke semakin deras. Selama ini dia sudah nyoba nutup hatinya untuk semua cowok. Baginya semua cowok itu sama, setelah sang ayah meninggalkannya dan ibunya berdua. Tapi kini Danu hadir dan memintanya untuk masuk ke dalam hidupnya, menjadi belahan hidupnya. Kegalauan muncul di hati Inke. Apakah dia mampu membuka hatinya sedikit untuk Danu setelah selama ini dia mencoba menutup pintu hatinya rapat-rapat.“Bisa, Ke? ngasih aku kesempatan?”Inke mengangguk kecil.” Satu minggu.Danu memicingkan mata. “Seminggu enggak akan cukup buat kamu ngenal aku.”“Lalu?”“Satu bulan ya. Please!”Inke mengangguk tak kuasa menolak. Danu pun tersenyum melihat Inke yang tak berkutik. Yang dia tahu saat ini dia sudah satu langkah lebih maju dibandingkan hari kemarin.

Malam ini Danu dan Inke menghabiskan malam minggu berdua. Mereka memesan dua capcai goreng dan dua gelas teh hangat di warung lesehan di pojok kota. Suasana malam itu begitu syahdu karena sejak sore tadi gerimis mengguyur jalanan yang kering kerontang, membuatnya basah dan terasa lembap. Untung sesudah maghrib gerimis ini berhenti, menyisakan aroma khas yang membuat siapa pun yang menciumnya ingin bernostalgia.“Tahu enggak, kalau kita berjalan ke arah utara itu udah beda kota loh,” ucap Danu.“Apa iya? bukannya masih sama ya?”

Danu menggeleng.” Udah beda, makanya warung lesehan ini jadi pembatas kota. Dulu sih aku menyebutnya warung pojok. Aku dan ibuku suka ke sini saat malam.”“Ibumu sehat, Nu?”Danu tersenyum kecut.” Sejak lulus kuliah ibu meninggal. Lalu aku merantau nyari kerja di kota ini.”“Loh, kamu kan asalnya dari kota ini?”Danu menggeleng. “Aku asal kota seberang. Udah dua tahun aku merantau di sini, lalu ketemu kamu, lalu jatuh cinta, lalu nembak, eeh masih digantung sampai sekarang.”Inke terkekeh. Selera humor Danu ini boleh juga. Inke orang yang kaku sampai bisa tertawa mendengar celotehnya. “Lalu ayah kamu?”“Aku enggak peduli sama dia, Ke. Mau sehat mau sakit enggak aku pikirin.”
“Besok kalau kita nikah tetap harus minta restu sama dia kan, Nu? kamu enggak boleh kaya gitu ke ortu sendiri.”Danu menatap Inke sambil tersenyum kecil. “Nikah? jadi udah boleh nih jadi suami kamu?”“Sudahlah, jangan dibahas. Lihat saja entar. Selama ini kamu pacaran berapa kali?”“Udah, Ke. Itu enggak penting. Udah masa lalu.”Sehabis dari warung pojok, Danu mengantarkan Inke ke rumahnya. Sikap Danu yang sopan dan supel mampu dengan mudah mengambil hati ibu Inke. Terlebih lagi Danu tidak pernah memulangkan Inke sampai larut malam. Ibu Inke pun setuju dengan hubungan mereka.

Waktu terus bergulir, enggak terasa satu bulan berlalu dengan cepat.  Sikap Danu yang begitu sopan mampu membuka pintu hati Inke. Akhirnya Inke pun menyetujui untuk menerima lamaran Danu. Sore ini Danu meminta izin ke Inke untuk membicarakan hal ini keadaan ayahnya sekaligus meminta restu. Ayahnya ada di kota seberang, meski hubungan antara Danu dan ayahnya ini tidak begitu baik tapi Danu tetap meminta izin kepadanya. Bagaimanapun juga ayahnya tetap orang tuanya yang harus dimintai restu.Malam ini Danu pulang ke kotanya. Dia berjanji sebelum satu minggu akan kembali untuk meminang Inke dan menyiapkan segala sesuatunya. Inke melepas Danu dengan perasaan gelisah. Seolah-olah hari ini terakhir dia bertemu dengan Danu.“Nu, kamu pasti kembali kan?”Danu mengangguk. “Pasti, Ke. Setengah hatiku tertinggal di sini. Di kota ini. Tunggu aku sampai kembali. Aku pasti kembali, kembali untukmu.”

Inke menitikkan air mata. Jari jemari Danu mengusap air mata yang menetes di kedua pipi Inke. ”Tenanglah, aku akan kembali. Yakinlah padaku.”“Tapi, Nu. Entah kenapa perasaanku tidak enak.”“Jangan terlalu dipikirkan, aku pergi dulu ya, Ke. Jaga hatimu untuk aku.”Malam ini terasa lebih panjang dibandingkan malam-malam sebelumnya. Meski sudah menunjukkan jam dua belas malam mata Inke masih belum mau terpejam. Masih teringat di pelupuk matanya kepergian Danu malam ini. Pesan singkat yang dikirimkan kepadanya pun belum terbalaskan sampai sekarang, padahal kalau dipikir-pikir Danu sudah sampai di kota seberang dua jam yang lalu.

Saat di kantor pun, Danu juga sama sekali tidak menghubunginya. Apa ada yang salah dengan diri Inke hingga Danu kini menjauhinya. Untuk bekerja pun Inke tidak fokus, hati dan pikirannya dipenuhi oleh Danu, Danu, dan Danu. Saat hatinya sudah dipenuhi dengan nama Danu, mengapa ia tega mengkhianatinya?.Waktu terus berganti, tidak terasa sudah 3 bulan lamanya Danu pergi dari kehidupan Inke tanpa kabar. Pada malam ini Inke kembali datang di warung yang ada di sudut kota, dimana Danu dan Inke sering menghabiskan waktu berdua dan mengobrolkan banyak hal. Malam ini Inke berharap hubungannya dengan Danu bisa menemukan titik terang.

“Malam, bu. Saya Inke, ibu masih ingat saya kan?”Pemilik warung tersebut menatap wajah Inke tajam, kemudian seolah teringat sesuatu. ”O... mbak Inke. Iya dua bulan yang lalu mas Danu ke sini. Dia nitipin ini.”Pemilik warung tersebut menyerahkan sepucuk surat untuk Inke. Tangan Inke tampak gemetar menerimanya. Pikirannya seolah menolak untuk membacanya, namun hatinya mendesak untuk membacanya. Bukankah ini yang dia harapkan? sebuah kepastian yang selama ini Inke selalu nantikan. Dengan tangan gemetar, Inke membaca kalimat per kalimat yang ada di sana. Butiran-butiran air mata pun mulai membasahi surat itu.

Maaf, Inke. Ternyata aku memang tidak pantas untukmu. Maafkan aku tidak bisa melanjutkan hubungan ini, ku harap kamu mendapatkan pengganti yang lebih baik dari aku. Aku tidak bisa memberitahumu alasan mengapa aku lakukan ini. Ku harap suatu nanti kamu juga akan mengerti mengapa aku terpaksa melakukan ini kepadamu ...Danu....Tangis Inke semakin pecah, pemilik warung mencoba menenangkan Inke yang tampak kacau. Inke tak kuasa menahan tangisnya. Tiga bulan sudah dia menanti Danu kembali, tapi apa yang dia dapatkan saat ini? kosong, hampa, rapuh, dan rasa sakit yang teramat dalam.

Inke pulang dengan perasaan yang kacau. Ibunya khawatir dan tentunya sedih dengan kondisi Inke yang seperti itu, tapi apalah daya ibu Inke hanya bisa menyemangati, supaya kehidupan Inke harus tetap berjalan meski harus berteman dengan rasa sakit.“Sabar, Ke. Yang namanya jodoh itu rahasia Tuhan. Sebagai seorang hamba, kita hanya bisa menjalaninya sambil terus berdoa dan berusaha. Kalau memang Danu belum jodohmu, Tuhan akan menggantikannya dengan yang lebih baik. Jangan tutup hatimu untuk hati yang baru, karena takdir itu tidak ada yang tahu,” ucap ibu Inke lembut.

Waktu demi waktu berlalu, Inke akhirnya mulai bisa menerima kenyataan. Meski Danu masih ada di dalam ingatannya, namun dia mulai bisa berdamai dengan hati dan hidupnya. Selalu ada hikmah di balik cobaan yang diberikan oleh Tuhan. Berkat kerja kerasnya, Inke kini menempati posisi prestisius di kantornya. Hari ini pun Inke bertugas untuk memantau kantor cabang yang ada di luar kota.“Bu, kereta Inke sudah mau berangkat. Doakan Inke agar selamat sampai tujuan ya.”“Iya, nak. Jangan lupa berdoa dan selalu hati-hati.”Inke mengedarkan pandangan ke sekeliling stasiun. Sambil terus mengobrol dengan ibunya lewat telepon, kemudian pandangannya tertuju pada sesuatu. Inke berlari mendekatinya dan seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya.“Danu,” ucapnya lirih.

Danu tak paham, sekali-kali dia tersenyum tanpa arti. Bibirnya menceracau tanpa jelas disertai dengan pandangan kosong. Danu terduduk di atas kursi roda. Gumaman-gumaman tidak jelas semakin sering terdengar.“Oh maaf, anak saya ini sedang sakit. Apa Anda mengenalnya?”Inke familiar dengan suara tersebut. Dia pun kemudian mendongakkan wajahnya. “Ya Gusti, kenapa aku harus melihatmu lagi!!!” pekik Inke.Pandangan Inke berubah menjadi gelap. Bumi ini seakan runtuh menimpa tubuhnya. Memang tidak ada satu pun manusia yang mengetahui rahasia kehidupan yang sudah Tuhan siapkan untuknya.

Misteri kain merah


"Seperti ada orang di depan" batin Astie dengan berjalan gontai karena baru bangkit dari duduknya di sofa yang sebelumya membaca majalah sambil menikmati susu hangat."Haloooo..." teriak mengejutkan saat Astie baru membuka pintu. "Astagaa..." itulah respon spontannya seketika mendengarkan teriakan itu dengan terkejut. "Haduuhhh... Din.. Lain kali klo datang jangan misterius gitu deh. Ketuk pintu dulu atau bilang permisi gitu. Untung aja aku sekarang masih sehat lahir batin" omelan Astie pada Dinda teman sebayanya yang baru saja membuatnya kaget.Udah ngomelnya... Tadi itu aku mau ketuk pintunya tapi keduluan kamu buka pintu. Ya sudah jadinya gitu deh.." bantah Dinda yang sebelumnya mendengarkan omelan Astie sambil meniru gerakan mulut Astie dengan candaan.

"Yah..yahhh.. Masuk aja kalau begitu"Setelah beberapa saat mereka berbincang-bincang berbagai hal, akhirnya tibalah hal yang membuat Astie tercengang yaitu tentang "Per... Pernikahan""Jadi kamu mau menikah... Di umur 23 ? Nggak salah? Kamu masih mudah banget? Serius? Sama siapa?.." kemudian terpotong ucapan Dinda "Sttt... Mulai deh. Dengarkan dulu penjelasanya Astie kemudian bertanyalah""Oke.. Jelaskanlah""Baca dulu undangannya kalau ada yang tidak jelas tanya aja""Hahhh... Udah bikin undangan kok aku baru tau""Sudah baca dulu Astie"Asti membuka undangan dari Dinda yang bersampul coklat dengan hiasan inisial D dan A dengan enggan.

"Aryo Wirawan itu kan orang yang barusaja kamu ceritakan, sekarang tahu tahu udah mau...." dan terpotong lagi dengan pertanyaan Dinda "Sudah tidak ada yang mau ditanyakan?"Astie menggeleng dengan ekspresi yang datar tapi beberapa detik kemudian senyum-senyum sendiri dan kemudian tertawa."Kamu tidak apa-apa tie.. kok kayak gitu""Selamat yaa sahabatku tersayang akhirnya kamu nggak jones -jomblo ngenes- lagi. Aku akan siap sedia saat kau membutuhkanku demi kelancaran hari pentingmu nanti"“kebetulan nih... kamu kan suka belanja. Bisa tidak carikan baju seragam untuk keluarga dan kerabatku nanti”

“Bisa banget.. kalau gitu lebih baik beli kain terus dijahitin biar lebih murah”“Yah terserah deh.. kamu kan tahu banget tentang begituan. Aku percaya sama kamu”“Okedeh...” acungan jempol serta senyum tipis Astie  mengiringi ucapan tersebut.Tak perlu menunggu waktu lama sore itu setelah Dinda datang dan memberi kabar bahagianya Astie segera memanfaatkan keahlianya dalam berbelanja untuk sahabanya. Mol yang dipilih tidak jauh dari tempat tinggalnya sekitar 500 m saja dari rumahnya. Astie memang sengaja memilih tempat tinggal di dekat Mol karena itu memudahkannya untuk belanja.

Kesana kemari Astie mencari bahan untuk baju sendirian tanpa disadari matahari hampir terbenam. Menawar dan mencari terus dilakukannya tapi belum menemukan bahan yang cocok. Setelah beberapa saat ia menemukan kain yang cocok untuk baju seragam di pernikahan Dinda nanti.
“Biru warna kesukaan Dinda. Motifnya anggun dan cocok kalau dipakai tua muda dan pria wanita” pikirnya dengan meneliti setiap bagian kain tersebut apakah ada yang cacat atau memang sudah sempurna.“Ada yang bisa dibantu..” seorang laki-laki tiba-tiba muncul. Ternyata ia adalah karyawan toko kain tersebut.

“Emm... yang ini harganya berapa?” tanyanya dengan tetap meneliti kain setelah menoleh beberapa saat yang lalu karena kedatangan laki-laki itu.“Ini satu meternya 100 ribu. Bahannya bagus loh, baru datang juga dari distributornya”“Lebarnya berapa? Kok mahal sekali” Astie mulai menawar. Walaupun bahannya cocok dengan pilihannya namun harganya ia rasa terlalu tinggi.“Lebarnya 1.15 meter. Tapi ini memang bagus kok”“Saya tahu kalau bahanya bagus. Tapi kalau disesuaikan dengan kuantitas lebarnya dan kualitasnya harga setus ribu itu mahal sekali”“Mau beli berapa sih? Kalau tidak mau harga segitu ya tidak usah beli” Kata karyawan tersebut dengan culas. Seketika sikapnya yang ramah berubah.

“Saya mau beli banyak untuk baju seragam 50 meter nanti potongkan 2 meteran untuk satu orang, karena itu turunin sedikit yaa... 50 atau 60 ribu satu meter”“Tidak bisa...” karyawan tersebut pergi mengambil beberapa gulung kain dan memotongnya  beberapa lembar dengan mengukur kain tersebut dengan cepat “tunggu disini saja, saya akan potongkan kainnya ini baru dapat 10 lembar” ucap karyawan tersebut ketika Astie hendak mendekat.“Loh... kan kita baru tawar menawar kenapa kok langsung dipotong kainnya. Belum tentu juga saya mau beli kan harganya tidak sesuai.”“Ini sudah terlanjur... tadi kan bilang mau beli. Kalau sudah dipotongkan ya kalau begitu harus dibeli”

“Ini namanya pemaksaan... jual beli macam apa ini!. Sebelumnya tadi saya tawar menawar sama toko lain tapi pelayanannya tidak memaksa seperti ini. Saya tanya-tanya juga diladeni walaupun pada akhirnya saya masih tidak cocok” Astie mencoba menahan emosi dan melihat karyawan tersebut hanya diam dan menatapnya dengan misterius.Daripada Astie harus marah dia langsung beranjak dari toko tersebut dan mencari bahan di toko lainya. Akhirnya sebelum Mol di tutup sekitar jam 9 malam ia sudah membeli bahan yang dibutuhkan dan rencananya akan mencari penjahitnya besok.Keesokan HarinyaDap... dap... dap.... “Hmm... mungkin Dinda di depan. Biarin dia ketik pintu duludeh daripada ngagetin lagi” batin Astie.

Beberapa menit kamudian tak ada suara ketian pintu namun hanya ada suara orang berjalan di depan pintu. Astie begitu penasaran akhirnya dia memutuskan membuka pintu untuk melihatnya.
“Helloooo...” Teriak mengejutkan yang didengar Astie namun suaranya tidak seperti suara Dind Breaking News :Ditemukan mayat perempuan berinisial A di dalam rumahnya. Dalam keadaan gantung diri..... (bla).... (bla).....(bla)....” Suara TV yang baru saja Dinda dengarkanSetelah mendengarkan berita dari TV dia segera pergi ke rumah Astie dan sampainya di sana dia telah melihat garis polisi yang ada dalam rumah sahabatnya yang malang. Awalnya dia tidak diizinkan masuk oleh polisi karena ini dalam proses penyelidikan namun Dinda tetap memaksa dan menjelaskan semuanya.

Dengan didampingi polisi Dinda masuk dan melihat alat gantung diri yaitu berupa kain tidak seperti biasanya yang menggunakan tali. Kain itu adalah kain merah yang diceritakan Astie yang nantinya untuk bahan baju seragam pernikahan. Dan Dinda menceritakan semuanya kepada polisi. Karena dari data yang diperoleh panggilan terakhir ponsel Astie tertuju kepada Dinda.Polisi terus mencari petunjuk yang diperoleh dari Dinda dan para tetangga Astie. Melihat kejadian ini dibuat seperti kejadian bunuh diri tetapi menurut polisi yang dibantu detektif kejadian ini masih mengganjal. Karena dengan kondisi mental Astie yang sehat tidak mungkin Astie begitu saja melakukan hal semacam ini.

Melihat kain yang digunakan itu dipotong dengan guntung tidak dirobek biasa dengan tangan. Tetapi gunting yang ditemukan di rumah Astie yaitu gunting kecil biasa dan itupun tidak terlalu tajam. Kalau tidak tajam dan guntingnya kecil kemungkinan kainnya mungkin tidak akan rapi.  Dan tubuh Astie tidak berdarah kecuali di area gigi dan mulutnya. Tetapi DNA darah yang di temukan bukan milik Astie. Kemungkinan pelaku mempunyai luka gigitan Astie  dan memiliki gunting yang tajam.
Melihat berbagai petunjuk yang menunjukan bahwa Astie dibunuh kemungkinan pelaku yang melakukan tidak jauh dari sini. Karena pelaku telah mengenali keaadaan sekitar daerah rumah Astie sampai tidak ada orang yang mengetahui.

Ketika detektif keluar di depan pintu ia melihat di sekitar halaman yang terdapat jejak kaki yang sangat jelas. Sepertinya itu tidak seperti kaki Astie. Mungkin pelaku sengaja menginjak nginjak tanah hinga menimbulkan suara. Dan alas kaki pelaku mungkin penuh dengan tanah.Detektif dan polisi memulai pencarian dengan menelisik kegiatan yang dilakukan Astie sebelum ditemukan tewas. Tidak membutuhkan waktu lama hanya dalam sehari polisi menemukan tersangka pembunuhan. Karenan sehari sebelum Astie di temukan tewas ia telah bertemu tersangkanya.

Polisi mengintrogasinya dan memeriksanya hingga mengakui kesalahanya namun sepertinya tidak merasa bersalah karena menurut pemeriksaan dia memiliki gangguan mental sejenis Bipolar Disorder dan saat ia marah seketika ia bisa menjadi Psikopat karena tak bisa mengendalikannya.“Saat pulang dari toko dua hari yang lalu aku melihat dia yang memasuki rumah ternyata rumahnya tak jauh. Dan aku melihat guntingku yang biasanya aku bawa saat bekerja, dan terpikirkan olehku untuk membalas kelakuanya. Karena dia aku dimarahai majikanku dan membuatnya merugi.

Dan pagi harinya aku datang kerumahnya dengan membawa alat kerjaku –gunting. Setelah menyapanya aku melihat tumpukan kain merah. Karena kain itu dia menghianati kain yang sudah lelah aku potongkan. Akhirnya aku membantunya memotong kain merah itu. Tetapi dia cerewet sekali sehingga aku ingin membungkamnya dengan kain yang sudah aku potong. Dia memang tidak tahu terima kasih sudah ku bantu namun masih suka marah-marah dan dia telah menggigitku.

Dan akhirnya aku putuskan aku akan melancarkan niatku. Aku tahu disekitar situ tidak ada orang karena aku sering melewati jalan ini saat berangkat kerja. Dan aku akan menemaninya sebentar. Tapi dia diam saja ketika aku ajak bicara sepertinya dia asik berayun dengan kain itu, akhirnya aku pergi kerja saja. “ Pengakuan tersangkaDan ternyata pembunuhnya adalah karyawan aneh yang membuat keributan di toko kain majikannya. Dan selain membuat Astie kesal dia juga membuat Astie berakhir dengan malang.